Nasip Tukang Pijat Tuna Netra

Tukang pijat itu selalu mengeluhkan namanya, “ini karena namaku masih Seloso. Jadi sial hidupku.”
Pak Seloso sudah berkali-kali datang ke kelurahan, kecamatan, hingga kabupaten untuk minta namanya dibenarkan menjadi Suloso, tapi gagal. Pak Lurah selalu menolak, sebab katanya dirinya memang lahirnya hari Selasa, sebab itulah akte lahirnya ditulis nama Seloso.“Tapi ayah saya bilangnya Suloso, bukan Seloso, pak.”“Ayahmu buta huruf, nggak tahu bahasa yang benar. Jangan turuti dia.”Sudah sepuluh tahun ia memohon pergantian nama KTP tapi terus ditolak. Ia sangat sedih. Namanya dianggap pembawa sial dan penyebab kemiskinan. Sebab itu praktek pijat tuna netranya pun tidak berkembang.

Rahasia kesialan hari Selasa didapatkannya dari kernet bis langganannya. “Seloso. Sepi selo nelongso. Penumpange sepi, rejekine selo, atine nelongso. (Selasa. Sepi, jarang, dan menderita. Penumpangnya sepi, rezekinya jarang, dan hatinya menderita),” kata kernet.Hati Seloso ciut kalau mendengarnya. Dan semua pasien pijatnya dilapori kalau pemerintah telah salah mengetik namanya di akte kelahiran.”Nama saya Suloso, pak. Bukan Seloso,” katanya kepada Pak Lurah yang kebetulan minta pijat ke panti pijat tempatnya bekerja.Pak Seloso kemudian bercerita panjang lebar sebagaimana biasanya. Pak Lurah itu sudah mendengar cerita itu puluhan kali, dan tampak tidak peduli pada nasib pria tunanetra yang tidak lulus SDLB itu. Pak Seloso dianggap telah menjadi korban takhayul para dukun.”Tolong, pak. Gantilah nama saya. Nasib saya merana sebab nama itu. Tolonglah. Nanti bapak akan saya berikan pijat gratis selama setahun.”

Tiba-tiba Pak Lurah merasa tertantang, sebab baru kali ini Pak Seloso menawarkan imbalan pijat gratis.”Baiklah, pak. Besok akan kami usahakan.”Hati Pak Seloso berbunga. Pak Lurah pun meminta KTP dan KK untuk diproses.”Hanya mengganti satu huruf saja, pak, yaitu huruf e menjadi u. Seloso jadi Suloso.”Pak Lurah cuek, dan langsung pulang tanpa membayar sebab beranggapan uang pijat selama satu jam itu adalah uang muka untuk proses ganti nama.”Jadi hari ini saya tidak perlu bayar, ya, pak.””Iya, pak iya, anggap saja DP dari saya sebesar dua puluh ribu,” kata Seloso.”Tapi tolong, beri saya uang seribu untuk mengisi kotak kas kami. Itu kas wajib setiap ada pelayanan.”Aparat desa itu mengomel sebentar. Tapi sesaat kemudian memberikan selembar uang seribu rupiah.”Nih,” katanya, lalu pergi.Uang seribu itu diperuntukkan sebagai kas panti. Kas itu akan dibuka setiap lebaran untuk menyewa sebuah mobil dan membeli rupa-rupa oleh-oleh untuk silaturahmi keliling ke rumah para pejabat dinas sosial dan aparat terkait.Sedangkan uang dua puluh ribu sisanya menjadi hak tukang pijat sendiri. Jadi sekali pijat, seorang pasien harus membayar uang sebesar dua puluh satu ribu rupiah.

Ternyata, tidak sampai sebulan, Pak Lurah datang lagi membawa KTP dan KK Pak Seloso versi baru. “Ini pak, nama baru bapak sudah jadi.”Kontan Pak Seloso bergembira. Semua pemijat tunanetra disana pun berteriak syukur.Dan sebagaimana imbalannya, Pak Lurah mendapat pijat gratis selama setahun. Tapi sialnya, beliau selalu datang Sabtu sore, yaitu saat Pak Seloso mudik ke kampung halaman. Pak Lurah sengaja memilih hari itu agar mendapat tukang pijat lain sebab tidak suka dipijati Pak Seloso. Akibatnya, Pak Seloso pun nombok, sebab harus membayar temannya yang menggantikan dirinya memijati Pak Lurah. Jadinya nama baru itu malah membuatnya makin miskin.Lalu bertanyalah ia pada ayahnya, “Pak, aku sudah ganti nama jadi Suloso kok nasibku tetap sial, ya?””Namamu bukan Suloso tapi Suloso,” jawab ayahnya.Pak Seloso bingung, “Seloso bagaimana Pak?””Loso, manah, jiwa.” Ayahnya mengulang-ulang kata lasa sambil terus menunjuk ke dada. Tapi Seloso yang buta tak bisa melihat isyarat itu. “Loso, loso,” katanya. Setelah berkali-kali ayahnya berbicara dengan menyentuh dada anaknya yang buta itu, maka Pak Seloso baru paham.

“Rasa, ya Pak?,” tanya Seloso.”Iya, lasa,” kata ayahnya yang cedal. Ayahnya Pak Seloso tidak bisa bilang “r” tapi “l”.”Oh jadi yang benar Suroso?,” tanyanya.”Iya,” jawab ayah.Seloso langsung membatin, pantas saja nasibku masih sial karena namaku masih salah. Maka ia pergi ke kelurahan lagi. “Tolong pak, nama saya diganti satu huruf lagi, yaitu “l” menjadi “r”, jadinya Suroso.”Tapi Pak Lurah enggan mengubahnya sebab belum setahun nama itu diubah kok mau diubah lagi. “Buat apa diubah-ubah terus?””Biar nasib saya membaik, pak.””Biaya perubahan nama itu mahal,” kata aparat itu berbohong. “Kewajibanmu memijat aku selama satu tahun saja belum lunas kok mau minta ganti nama lagi.””Sudahlah, pak. Nanti buat bapak saya tambahi bonus satu tahun jadi total dua tahun pijat gratis.””Enggak ah. Tahun depan saja gantinya setelah lunas pijatnya.”Gagal sudah perjuangannya. Tukang pijat tunanetra itu pun pulang dari kelurahan ke panti pijat dengan berjalan kaki sendirian. Tongkat bamboo yang diberinya kaleng kosong itu dipukul-pukulkan ke tanah agak keras untuk melampiaskan kecewa. Klontang-klontang mengusir orang. Tiga jam kemudian ia sampai.Jalan jauh demikian itu sudah biasa baginya. Sebab harga karcis bis sangat mahal, apalagi biaya ojek dan taksi yang tak terjangkau oleh penghasilannya yang pas-pasan dan tak menentu.

Sesampainya di panti pijat, Seloso melapor ke teman-temannya, bahwa nama aslinya adalah Suroso, bukan Suloso. Semua diceritakannya.”Panggil aku Roso,” katanya. “Suroso, artinya kaya hati.”Teman-temannya mengangguk-angguk menurutinya. Dan mereka kompak merayu Pak Lurah yang selalu datang di Sabtu sore untuk menolong temannya itu sekali lagi. Tapi lurah itu tak bergeming. Pak Lurah selalu bilang: Apalah arti sebuah nama.Akhirnya Pak Seloso pasrah. Ia ikuti keputusan Pak Lurah dan sabar menunggu setahun lagi. Ia luapkan kegalauan hatinya dengan tadarus Al-Qur’an huruf Braille. Dan sekonyong-konyong turun malaikat penolong. Pak Dinsos yang baru menjabat tiba-tiba mendatanginya minta pijat.Sambil memijat, Pak Seloso mengutarakan masalahnya. “Pak Dinsos, saya itu punya masalah, Pak.””Apa, pak masalahnya?””Saya merasa rezeki saya kurang lancar pak, sebab nama saya salah tulis. Nama saya yang benar adalah Suroso, tapi ditulis Suloso.”Pak Dinsos yang arif lagi bijaksana itu langsung mengerti keluhan anggota binaan kantor dinasnya itu. Beliau tidak langsung menyalahkan apalagi meremehkan.”Baiklah, apa yang bisa saya bantu?”
“Tolong saya dibantu membenarkan nama saya, Pak.””Baiklah akan saya bantu. Tapi besok bapak harus ikut pelatihan pijat ya, agar cara memijat bapak lebih baik.”Pak Dinsos menyarankan pelatihan itu sebab cara memijat Pak Seloso itu seperti orang sakit ayan lagi kumat. Pak Seloso menyanggupi, dan Pak Dinsos pun mau membantunya membenarkan ejaan namanya.Alkisah, sebulan kemudian Pak Dinsos datang lagi dengan membawa KTP dan KK atas nama Suroso. Maka panti pijat itu bersorak-sorai bergembira. Pak Dinsos pun mendapatkan bonus pijat gratis dari Pak Seloso, alias Pak Roso. Cara memijatnya ternyata sudah jauh lebih baik. Pak Seloso tidak lagi menggoyang-goyangkan kepala tapi berkonsentrasi menggoyang-goyangkan tangan demi memijat Pak Dinsos.Dan dengan ilmu barunya itulah nama Pak Roso terkenal menjadi tukang pijat yang cukup ampuh sehingga penghasilannya meningkat dengan bertambahnya pelanggan baru. Namun bagi Pak Roso sendiri, perbaikan nasibnya itu bukan sebab membaiknya keahlian pijatnya, namun sebab kekeramatan nama Suroso yang disandangnya kini. Perbaikan nasib itu juga mempengaruhi keluarganya, yaitu istri dan anaknya di rumah.Ia sangat bangga dengan itu. Maka ketika Pak Lurah datang lagi minta pijat gratis di hari Sabtu, Pak Roso sendirilah yang memijatinya. Pak Lurah terkejut dengan perubahan nama Pak Roso dan meningkatnya ilmu pijatnya.”Siapa yang menolong bapak?” tanya Pak Lurah.”Pak Dinsos,” jawab Pak Roso.

Pak Lurah itu jadi nyinyir dibuatnya. Yang lebih nyinyir lagi ketika Pak Roso bercerita bahwa nasibnya sekeluarga benar-benar berubah jauh lebih baik setelah menyandang nama Suroso.”Sejak punya nama Suroso, Alhamdulillah, istri dan anak saya juga berubah nasibnya menjadi lebih baik, pak,” kata Suroso seakan sengaja mempermalukan Pak Lurah.”Apa? Bapak punya anak istri?” tanya Pak Lurah terkejut seakan dulu meremehkan tunanetra itu.”Punya pak.””Kenapa tidak dimasukkan di KK bapak?””Yang buat KK kan bapak. Mungkin bapak lupa.”Pak Lurah jadi malu.”Apa istrimu juga buta?””Iya, pak. Istri saya juga tunanetra.””Jadi tukang pijat sepertimu juga?””Ia mengamen di stasiun dekat rumah, pak.””Terus, kalian kos di mana?””Dulu kami kos di dekat stasiun juga, tapi sekarang kami sudah punya rumah sendiri. Jadi sejak ganti nama menjadi Suroso itulah kami dapat rezeki untuk beli rumah.””Lhoh, memangnya rezeki kalian dari memijat dan mengamen bisa cukup buat beli rumah apa?””Ya tidak cukup pak. Itu rumah yang beli anak saya.””Lho, anakmu umurnya berapa?””Sembilan belas tahun, pak.””Kerjanya di panti pijat tunanetra juga?” tanya Pak Lurah dengan nada merendahkan.”Dia bukan tunanetra, pak. Anak saya bisa melihat.””Terus kerjanya apa kok bisa beli rumah?””Belum bekerja, pak.””Terus, dapat lotre?””Bukan, pak.””Lha terus dapat uangnya dari mana?””Katanya dari beasiswa.””Beasiswa? Memangnya anakmu kelas berapa?””Baru lulus SMU, pak.””Lulus SMU kok dapat beasiswa? Pasti itu bohong. Namanya beasiswa itu ya untuk yang masih sekolah, bukan untuk yang lulus,” bantah Pak Lurah.

Pak Lurah berpikir keras. Hatinya penuh iri dengki. Ia sangat dongkol, sebab anaknya yang kemarin ikut UAN SMU ternyata tidak lulus, tapi anak tukang pijat tunanetra itu malah lulus dan katanya dapat beasiswa.”Tapi kata anak saya begitu,” kata Pak Roso.”Bohong itu. Tidak mungkin. Pasti ia jualan narkoba. Beasiswa apa kok bisa beli rumah?””Katanya beasiswa halpat-halpat begitu, pak.””Halpat itu apa?””Katanya sekolah di luar negeri, pak.””Luar negeri? Maksudmu sekolah swasta? Hati-hati lho, sekarang banyak sekolah swasta yang mengobral beasiswa palsu untuk menipu orang.””Bukan pak. Itu sekolah di luar Indonesia.””Enggak mungkin. Memangnya anakmu SMU-nya di mana?””SMU I, pak.””SMU I? Berarti sama dengan anakku?””Iya, pak. Sama. Anak saya pernah bercerita tentang anak bapak. Katanya anak bapak tidak lulus ya?” kata Pak Roso dengan entengnya.Pak Lurah seperti disengat kalajengking segede gajah. Wajahnya merah padam. Ia sangat malu. Badannya tiba-tiba demam. Darah tingginya kumat.Ia langsung pulang tanpa pamit. Ditinggalkannya Pak Roso begitu saja tanpa memedulikan pijatnya yang belum selesai. Dan mulutnya serasa terkunci gembok besar. Mulutnya mendadak jadi bisu.

Di sepanjang jalan aparat desa itu mengendarai sepeda motornya dengan terus menggerutu. Dan ia makin menggerutu, ketika ia teringat cerita anaknya yang tidak lulus itu, bahwa sekolahnya di SMU I mendadak menjadi sekolah terkenal se-Indonesia di tahun ini, karena memiliki seorang siswa yang luar biasa cerdas, yang selalu mendapatkan nilai sepuluh sejak kelas satu, hingga lulus dengan nilai terbaik nasional. Siswa itu kemudian mendapatkan beasiswa unggulan dari presiden RI, ditambah beasiswa dari PBB, untuk melanjutkan pendidikannya di Harvard University Amerika. Dan anaknya bercerita bahwa orang tua siswa berprestasi itu hanya berprofesi sebagai tukang pijat tunanetra

Semoga memberi inspirasi kepada kita