PENGATURAN HAK ASASI MANUSIA MENURUT UUD RI 1945 DLM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

PENGATURAN HAK ASASI MANUSIA MENURUT UUD RI 1945 DLM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM
Oleh DR. H. Misbahul Huda,SH
(Dosen STIH Iblam Jakarta)
Pendahuluan

Terminologi HAM  berasal dari istilahistilah asing, seperti droi’t I’home (Prancis), menslijke dari (Belanda), fitrah (Arab), dan human rights (Inggris). Istilah human right sebelumnya  berasal dari right of human yang menggantikan istilah natural right, dan istilah ini kemudian oleh Eleanor D. Rossevelt diubah menjadi istilah baru dengan sebutan human right dan mempunyai konotasi universal dan netral[1]. Dalam arti hak ini dimiliki oleh siapapun tanpa memandang asal-usul, warna kulit, ras,  kebangsaan, dan lain sebagainya[2].

Secara etimologis, HAM berasal dari dua suku kata, yaitu “hak” dan “asasi”.  Hak asasi merupakan hak dasar yang dimiliki oleh manusia sesuai dengan fitrahnya, tidak satupun mahkluk dapat mengintervensinya, apalagi mencabutnya. Tuhan Yang Maha Kuasa  yang memberikan hak tersebut dan hanya Tuhanlah yang berhak mencabutnya. Menurut Jan Materson dari Komisi HAM Perserikatan Bangsa Bangsa sebagaimana dikutip oleh Baharuddin Lopa, “HAM adalah hak-hak yang melekat pada diri setiap manusia, yang tanpanya manusia mustahil dapat hidup sebagai manusia[3]”.  sedangkan John Locke lebih menekankan asal usul hak, dengan menyatakan  pendapatnya, bahwa HAM adalah hak-hak yang diberikan langsung oleh Tuhan sebagai hak yang kodrati[4].  Menurut Hendarmin Rana direksa, HAM merupakan seperangkat ketentuan atau aturan untuk melindungi warga negara dari kemungkinan penindasan, pemasungan, dan/atau pembatasan ruang gerak warga negara oleh negara[5]. Sedangkan menurut Anton Baker, HAM ditemukan dalam hakekad manusia, demi kemanusiaanya, semua orang satu persatu memilikinya, tidak dapat dicabut oleh siapapun, bahkan tidak dapat dilepaskan oleh individu itu sendiri, karena hak itu bukan sekedar hak milik saja, tetapi lebih luas dari itu[6].

Dalam mazhab hukum alam konsepsi dasar HAM meliputi tiga hal, yaitu hak hidup atau the right to life, hak kemerdekaan atau the right to liberty dan hak milik atau the right to property. Perkembangan berikutnya HAM terus mengalami transformasi dan penyempurnaan, dan sehubungan dengan ini Franklin D. Roosevelt, tepatnya pada tanggal 6 Januari 1941 telah memformulasikan empat gagasan baru terkait dengan HAM, atau yang lebih dikenal dengan istilah the four freedoms. Gagasan baru dari Franklin D. Roosevelt Franklin D. Roosevelt ini kemudian diusulkan, dan diucapkan di depan Kongres Amerika Serikat, yaitu meliputi: a) bebasuntuk berbicara atau freedom of speech; b)kebebasan dalam memeluk agama ataufreedom of religion; c) kebebasan dari rasa takut atau freedom of fear; dan d) kebebasan terhadap suatu keinginan atau kehendak yang biasa disebut freedom of from want[7].

Konsepsi hak asasi dari Franklin D. Roosevelt kemudian menginspirasi dan menjadi bagian dari Declaration of Human Right 1948, yang merupakan pernyataan seluruh umat manusia melalui wakil-wakilnya yang duduk dalam organisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa. Melalui pernyataan ini seluruh umat manisa bertekad untuk memberikan jaminan perlindungan secara yuridis formal terhadap hak-hak asasi, dan merealisasikannya dalam kebijakan nyata oleh negara-negara yang menyetujui deklarasi ini. Secara teoritis, hak-hak yang terdapat dalam The Universal Declaration of Human Rights dapat dikelompokan ke dalam tiga bagian, yaitu: pertama, menyangkut hak-hak yang berkaitan dengan hak politik; kedua, menyangkut hak-hak yang berkaitan dengan hak atas martabat  dan  integritas manusia; dan ketiga, menyangkut hak-hak yang berkaitandengan hak-hak sosial, ekonomi dan hak-hak budaya.

Dalam konsepsi hukum nasional Indonesia, HAM ini dapat dilihat di dalam ketentuan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM menyebutkan adanya beberapa HAM yang bersifat mutlak dan tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun. Hak-hak tersebut adalah: a) hak untuk hidup; b) hak untuk tidak disiksa; c) hak kebebasan pribadi; d)   pikiran dan hati nurani; e) hak beragama; f) hak untuk tidak diperbudak; g) hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan dihadapan hukum; h) hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut[8].

Dalam kepemimpinan Nabi Muhammad dihasilkan Piagam Politik yang di dalamnya memuat perjanjian antara Nabi Muhammad sebagai pemimpin Madinah pada waktu tu dengan rakyat Madinah ini selanjutnya disebut sebagai Piagam Madinah. Piagam Madinah atau juga disebut Piagam Madina ini selanjutnya meletakan dasar-dasar kehidupan negara modern yang demokratis. Para ahli ilmu pengetahuan, khususnya ahli sejarah, menyebut naskah politik yang dibuat oleh Muhammad SAW, itu dengan nama yang bermacam-nacam. Misalnya W. Montgomery Watt menamainya dengan istilah  “The Constitution of Medina “[9], R. A. Nicholson meyebutya dengan istilah “Charter” [10] , Phillip K. Hitti menyebut istilah agreement”[11], dan Zainal Abidin Ahmad menyebut dengan istilah “piagam”[12] . Selain nama ini, di dalam naskah, tertulis sebutan “kitab ” dua kali[13].

Di dalam piagam itu, dirumuskan dan dijamin adanya kebebasan beragama, hubungan antar kelompok, kewajiban mempertahankan kesatuan hidup, dan lain-lain. Berdasarkan isi Piagam Madinah itulah warga Madinah yang majemuk, secara politis, dibina di bawah pimpinan Nabi Muhammad SAW. Betapa tinggi nilai Piagam Madinah itu, Nurcholish Madjid menyatakan: “Bunyi naskah Konstitusi (Piagam Madinah) itu sangat menarik. Piagam Madinah memuat pokok-pokok pikiran yang dari sudut tinjauan modern pun mengagumkan, sebab Piagam Madinah ini memuat hak-hak politk warga negara Madinah yang ada pada saat itu. Di dalam konstitusi itulah untuk pertama kalinya dirumuskan ide-ide yang kini menjadi pandangan hidup modern…”[14].

Berdasarkan paparan di atas, maka dapat dikatakan bahwa, tonggak sejarah ajaran HAM pada masa pemerintahan Rasulullah SAW, dapat dijumpai dalam Piagam Madinah. Dalam Piagam Madinah tersebut setidaknya terdapat dua ajaran pokok yang merefleksikan substansi dari HAM; Pertama, semua pemeluk Islam adalah satu umat walaupun mereka berbeda suku bangsa; kedua, hubungan antara komunitas muslim dengan non muslim didasarkan pada prinsip: berinteraksi secara baik dengan sesama tetangga, saling membantu dalam menghadapi musuh bersama, membela mereka yang teraniaya, saling menasehati dan menghormati kebebasan beragama. Formulasi yang lebih sistematis dari HAM di dunia Islam dijumpai dalam Deklarasi Universal tentang HAM dalam Islam atau Al-Bayan Al-Alam^an Huquq Al-Insanfi Al-Islam.

Setelah era reformasi, tepatnya sejak 1998 sampai kira-kira Tahun 2005, Indonesia berusaha mendobrak tatanan lama orde baru, kasus-kasus HAM  bukannya berhenti namun menampakkan wujudnya dalam bentuk nyata, karena pada masa reformasi ini segala informasi dan pers jauh lebih bebas dari pasa masa sebelumnya atau masa Orde Baru. Kasus-kasus baru berikut warisan Orde Baru itu menjadi beban dan tanggung jawab pemerintah untuk menyelesaikannya, karena itu diperlukan hukum HAM baru, secara khusus terhadap ratifikasi konvensi HAM, hal ini dalam rangka menyelesaikan dan meminimalisir pelanggaran HAM berikutnya yang mungkin saja terjadi dan kejelasan tentang bagaimana mekanisme hukum yang tepat untuk menyelesaikannya.

Momentum penting sebagai tonggak bersejarah bagi pengakuan dan perlndungan Ham di Indonesia adalah dengan dilakukanya perubahan terhadap Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun l945, yang selanjutnya disingkat UUDRI- l945. Perubahan Undang Undang Dasar 1945, yang selanjutnya disebut  UUD 1945 telah menunjukan adanya kemajuan yang luar biasa terhadap pengakuan dan perlindungan HAM di Indonesia. Hal ini dapat dilihat dalam berbagai pasal-pasalnya, yaitu: Pasal 27, Pasal 28 Pasal 28A, Pasal 28B, Pasal 28C, Pasal 28D, Pasal 28E, Pasal 28E, Pasal 28F, Pasal 28G, Pasal 28H, Pasal 28I, Pasal 28J, Pasal 29.  Substansi perubahan UUDRI-l945 ini jauh lebih banyak dibandingkan di dalam UUD l945 sebelum dilakukan perubahan yang hanya mencantumkan di dalam Pasal 27, Pasal 28, Pasal 29 saja.

Pengaturan HAM  dalam UUDRI l945 ini sebenarnya meruakan wujud keberhasilan perjuangan rakyat melalui reformasi yang menginginkan adanya pengakuan, perlindungan, dan pemenuhan yang lebih memadahi terhadap HAM oleh pemerintah. Perjuangan rakyat melalui reformasi ni tentunya sangat beralasan, sebab selama pemerintahan Orede Baru, telah banyak perampasan, dan pengkerdilan terhadap HAM rakyat. Namun demikan, tentunya tidak cukup hanya mencantumkanya di dalam UUDRI 1945, yang lebih penting adalah bagaimana pemerintah mewujudkanya dalam kehidupan nyata bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara di masa-masa mendatang.

Perumusan Masalah

Apakah pengaturan HAM dalam Undang-Undang Dasar 1945 telah sesuai dengan perspektif Hukum Islam?

Teori dan Konsep

  1. Teori Negara Hukum

Secara konstitusional konsepsi negara hukum telah dianut oleh Indonesia sejak tahun 1945, sebagaimana tercantum dalam pembukaan UUD 1945 penjelasan umum, dan pada perubahan ketiga UUD 1945 tercantum dalam Pasal 1 ayat (3),  yang dirumuskan bahwa: “Negara Indonesia adalah Negara hukum”.

Konsepsi negara hukum pada pada dasarnya meletakan hukum di atas segalanya, atau dengan istilah lain menempatkan supremasi hukum yang disandingkan dengan ide kedaulatan rakyat yang melahirkan konsep demokrasi [15].  Sebagai konsekuensinya hukum harus menjadi dasar bagi setiap tindakan penguasa maupun rakyatnya, hukum memiliki kedudukan tertinggi di dalam negara, sedangkan dalam paham kedaulatan rakyat, rakyatlah yang dianggap berdaulat di atas segala-galanya, yang kemudian melahirkan sistem demokrasi. Prinsip negara hukum mengutamakan norma yang dicerminkan dalam peraturan perundang-undangan, sedangkan prinsip demokrasi mengutamakan peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan pemerintahan[16]. Secara konvensional, konsep negara hukum selalu dikaitkan dengan prinsip-prinsip pemerintahan yang harus didasarkan atas hukum dan konstitusi, adanya pembagian atau pemisahan kekuasaan negara ke dalam fungsi yang berbeda-beda[17]. Di samping itu tentunya harus terdapat jaminan perlindungan terhadap HAM di dalam konstitusi negara. Mohtar Kusumaatmadja menyatakan, makna terdalam dari negara berdasarkan atas hukum adalah:”….kekuasaan tunduk pada hukum dan semua orang sama kedudukannya di dalam hukum”[18].

Lahirnya konsep negara hukum diilhami oleh pemikiran Immanuel Kant dan Frederich Julius Stahl, yang dikembangkan di negara-negara Eropah kontinental. Konsep rechtstaat Imanuel Kant, melahirkan pemikiran tentang konsep  negara hukum formil atau lazim disebut konsep nachtwakerstaat. Dalam konsep  ini negara menjamin kebebasan individu sebagai anggota masyarakat, negara tidak dipekenankan mencampuri urusan warga masyarakatnya, oleh karena itu konsep rechtstaat ini disebut sebagai negara hukum liberal[19]. Konsep rechtstaat dalam arti formil ini menempatkan negara hanya sebagai penjaga ketertiban masyarakat. Unsur-unsur rechstaatdalam pemikiran Julius Stahl sebagaimana dikutip oleh Miriam Budihardjo, terdiri atas: a). diakuinya hak-hak asasi warga negara; b). adanya pemisahan atau pembagian kekuasaan negara untuk menjamin hak-HAM, yang biasa dikenal sebagai Trias Politika; c). pemerintahan berdasarkan peraturan-peraturan (wetmatigheid van bestuur), dan; d). adanya peradilan administrasi dalam perselisihan[20].  Meperkuat pemikiran Julius Stahl, D.H.M. Meuwissen mengemukakan, bahwa Undang Undang Dasar atau konstitusi merupakan unsur yang harus ada dalam konsep negara hukum, sebab konstitusi merupakan jaminan perlindungan hak-hak dasar warga negara.

Perlunya penekanan perlindungan HAM sebagai salah satu syarat dalam negara hukum, dikarenakan dalam negara hukum menghendaki agar setiap tindakan itu harus menurut dan didasarkan atas hukum, dan tidak didasarkan atas kekuasaan atau kemauan penguasa belaka. Hal ini untuk membatasi kekuasaan dan bertujuan untuk melindungi hak asasi anggota masyarakat dari tindakan-tindakan yang sewenang-wenang. Dengan kata lain dalam penggunaan kekuasaa harus dibatasi oleh hukum untuk melindungi hak-hak rakyat, sehingga negara harus benar-benar menjunjung tinggi supremasi hukum. Pengertian hukum sebenarnya telah banyak yang memberikan pengertian,  Julius Stone, mengartikan hukum sebagai berikut: “Admonotionin mind that ” ‘law’ is necessarily an abstarct term, and the definer is free to choose a level of abstraction; but by the sama token, in these as in other choice must be such as to make sense and be significant in terms of the experience and present interest of those who are addressed. ”  Lebih lanjut ditegaskan oleh Antony Allott, bahwa hukum mengandung tiga arti yang berbeda atau tipegraphy, yaitu sebagai berikut:  “Law (Law in the abstract) Law (an existing legal system), and Law (a particular rule or provision of a law)”.[21]Pernyataan tersebut dapat diterjemahkan bahwa hukum sebagai hukum yang abstrak, hukum sebagai sistem undang-undang yang ada, dan hukurn sebagai peraturan khusus atau bagian dari suatu hukum.

Negara yang menghormati HAM, merupakan negara hukum yang sesungguhnya, baik dalam tipe rechtstaat dan atau rule of law[22]. Selanjutnya dikatakan, HAM ialah hak yang dimiliki seseorang karena orang itu adalah manusia[23]. Menurut H.A. Mukti Fadjar, HAM merupakan hak yang melekat pada pribadi manusia sejak manusia dilahirkan untuk mempertahankan martabat dan nilai kemanusiannya (human worth and dignity) yang tidak mengenal pengotakan ras, bangsa, agama, derajad serta kedudukan. Selanjutnya dikatakan bahwa, HAM inherent dengan kodrat manusia, merupakan keleluasaan atau kebebasan manusia yang diterima dan dihargai sebagai nilai-nilai social yang masing-masing dan bersama-sama mutlak dibutuhkan untuk perwujudan realitas manusia, yaitu seasli-aslinya seperti yang digariskan oleh Tuhan[24].

  1. Konsep Negara Dalam Pandangan Islam

Di mata pendukung gagasan negara Islam, pemerintahan Nabi Muhammad di Madinah adalah contoh nyata bahwa Negara Madinah benar-benar suatu unit kesatuan politik yang terbangun karena kesepakatan-kesepakatan bermasyarakat kala itu memang merupakan kesepakatan pendirian suatu negara, meskipun negara sebenarnya lebih kompleks daripada sekedar suatu komunitas masyarakat. Sehubungan dengan hal itu, maka perlu diketahui bahwa negara merupakan suatu bentuk masyarakat yang lebih luas yang diikat oleh suatu ikatan formal yang bersifat memaksa di bawah pimpnan penguasa formal. Kelompok ini meyakini bahwa Negara Madinah adalah wujud nyata sekaligus contoh Negara Islam di masa awal berdirinya negara. Keyakinan ini didasarkan tidaknya pada argumentasi berikut: pertama, Rasulullah SAW menerima baiat dari pelbagai kelompok masyarakat sebagai penguasa dan bukan sebagai nabi yang  mengatur kehidupan kelompok masyarakat yang berbeda-beda suku dan agama.

Disepakatinya Rasulullah SAW sebagai pemimpin negara, maka jelaslah bahwa Rasulullah Muhammad SAW memegang jabatan sebagai kepala negara selain kedudukannya sebagai nabi; kedua, dalam kapasitasnya sebagai kepala negara, Rasulullah SAW mengirim surat kepada penguasa-penguasa negara besar untuk tunduk di bawah kekuasaan Islam. Sebagai contoh Rasulullah mengirim surat kepada Kaisar Heraklius. Isi surat tersebut, misalnya, berbunyi: Inilah surat dari Muhammad untuk Heraklius Yang Agung. Saya mengajak Anda kepada Islam. Peluklah Islam agar Anda selamat. Allah akan memberi dua ganjaran (ganjaran buat iman anda sendiri dan rakyat Anda). Bila Anda berpaling dari Islam, anda harus pula bertanggung jawab atas dosa-dosa orang-orang Arisia[25]; ketiga, terkait dengan undang-undang Negara Madinah yang bersifat mengikat dan memaksa, Rasulullah SAW selalu mendasarkannya pada wahyu dan hukum-hukum Allah SWT.

Dalam konteks ini terkait dengan hal-hak yang menyangkut wahyu dan ketetapan undang-undang, Rasulullah SAW tidak meminta pendapat siapapun selain mengikuti wahyu yang diturunkan kepadanya. Sebagaimana yang dinyatakan dalam al-Qur’an Surat Yunus ayat 15: “Aku tidak mengikuti kecuali apa yang diwahyukan kepadaku”. Juga dalam al-Qur’an surat al-Najm ayat 3-4: “Dan tidaklah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain adalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya)”. Sejarah Islam mencatat bahwa, dalam perjanjian Hudaibiyah, Rasulullah mengabaikan pendapat para sahabat yang mengajukan protes karena Rasulullah bersedia menerima konsep perjanjian yeng ditenrukan oleh kaum Quraisy Mekkah. Umar bin Khatthab menunjukan rasa kecewanya, tetapi Rasulullah SAW tidak beranjak sedikitpun karena sikap politik Nabi SAW itu diambil atas perintah Allah SWT[26].

Pandangan kedua, meyakini kebaikan negara sekuler yang memisahkan urusan negara dan agama. Konsep negara sekuler berpandangan bahwa urusan negara bukanlah urusan agama dan karena itu urusan-urusan yang menjadi wewenang negara selayaknya dipisahkan dari campur tangan agama, begitu pula sebaliknya. Pandangan ini didasarkan pada doktrin yang menjadi konsep awal munculnya sekularisme: “Berikan apa-apa yang menjadi hak kaisar dan berikan gereja haknya”[27]  .

Pandangan ketiga, menganggap negara dan agama ibarat dua sisi mata uang, suatu konsep negara yang mengkombinasikan kepentingan dan nilai-nilai Islam dalam praktek bernegara tanpa harus menyematkan secara formal nama negara Islam di satu sisi dan di sisi lainnya juga tidak menjadi negara sekuler yang benar-benar memisahkan. urasan negara dan agama. Pandangan ini beranggapan bahwa negara dan agama dalam hal ini Islam justru menjadi ruh bagi kehidupan bernegara.

  1. Konsep Piagam Madinah

Piagam Madinah merupakan piagam politik yang dibentuk pada saat Nabi Muhammad memerintah Madinah untuk mengatur kehidupan bersama di Madinah yang terdiri atas beberapa golongan. Muhammad SAW berpendapat bahwa perlu kesatuan hidup diantara seluruh penghuninya[28]. Sebagaimana diketahui bahwa penduduk Madinah terdiri dari tiga golongan besar, yaitu Muslimin, Musyrikin dan Yahudi. Muslimin terdiri dari golongan Muhajirin dan Anshar. Golongan Muhajirin adalah pendatang yang hijrah dari Makkah. Mereka adalah orang-orang Quraisy yang telah masuk Islam yang terdiri dari beberapa kelompok, diantaranya Bani Hasyim dan Bani Muthallib. Kabilah ‘Aws dan Kahazraj merupakan unsur utama golongan Anshar yang masing-masing terdiri dari beberapa kelompok suku yang banyak. Golongan Musyikin adalah orang-orang arab yang masih menyembah berhala atau paganisme. Golongan Yahudi terdiri dari keturunan Yahudi pendatang dan keturunan Arab yang masuk Yahudi atau kawin dengan  orang Yahudi pendatang. Tiga kelompok besar keturunan Yahudi pendatang adalah Bani Nadir, Bani Qaynuqa dan Bani Qurayzhah.

Piagam Madinah disebut juga Konstitusi Madinah yang dibuat untuk mempersatukan kelompok-kelompok sosial di madinah menjadi satu umat dan mengakui hak-hak mereka demi kepentingan bersama, merupakan contoh teladan dalam sejarah kemanusiaan dalam membangun masyarakat yang bercorak majemuk. Ide-ide di dalam ketetapan-ketetapan Piagam Madinah tetap mempunyai relevansi kuat dengan perkembangan dan keinginan masyarakat internasional dewasa ini dan telah menjadi pandangan hidup modern berbagai Negara di dunia. Hal ini dapat dibandingkan dengan isi berbagai piagam, konstitusi, dan deklarasi hak-HAM yang lahir puluhan abad kemudian sesudah lahirnya Konstitusi Madinah[29].

Keberadaan Piagam Madinah dapat disejajarkan dengan piagam-piagam HAM yang lain di dunia, seperti Magna Charta atau Piagam Agung 1215, yang dibuat oleh Raja John dari Inggris yang memberikan hak kepada beberapa bangsawan bawahannya dan membatasi kekuasaan Raja John atas permintaan mereka; Bill of rights atau Undang-Undang Hak tahun 1689 yang diterima oleh parlemen Inggris sesudah berhasil mengadakan perkwanan terhadap Raja James II dalam suatu revolusi tak berdarah tahun 1688.  Declaration des droits de L’homme et du Citoyen yang merupakan pemyataan hak-hak  asasi manusia dari warga negara Prancis tahun 1789, yang lahir pada awal permulaan Revolusi perancis, demikian juga Bill of Rights atau Undang-Undang Hak tahun 1789 yang disusun oleh rakyat Amerika,  The Four freedom atau Empat Kebebasan, yaitu kebebasan berbicara dan menyatakan pendapat, kebebasan beragama, kebebasan dari rasa ketakutan, dan kebebasan dari kemelaratan yang dirumuskan oleh Presiden Amerika Serikat, Franklin D. Roosevelt; Undang-undang Dasar 1945 Republik Indonesia yang juga memuat hak-hak asasi, dan juga  Declaration of Human Rights atau deklarasi Hak-HAM tahun 1948 yang dihasilkan oleh negara-negara yang tergabung dalam organisasi  Perserikatan Bangsa-Bangsa.

  1. Konsep HAM Dalam Islam

Dalam rangkaian riwayat ibadah haji, ada satu babak yang disebut dengan “Hajjatul Wada’ atau haji perpisahan yaitu ibadah haji terakhir yang dilaksanakan oleh Rasulullah. Hajjatu Wada’ itu terjadi pada tahun kesepuluh hijriah atau 632 Masehi. Pada tanggal 9 Dzulhijjah tahun kesepuluh hijriah itu, di suatu tempat yang bernama Urana, ditengah-tengah padang tandus, Rasulullah mengucapkan suatu khutbah yang ringkas tapi penting, yang terkenal dengan Khutbah Wada’ atau khutbah perpisahan. Khutbah Wada’ yang oleh beberapa negarawan dipandang sebagai pernyataan hak-HAM atau The First Declaration of Human Rights di dunia itu telah menggariskan hak-hak dan kewajiban pokok bagi tiap-tiap manusia. HAM juga banyak ditegaskan dalam Al Qur’an maupun hadist. Piagam Madinah atau Konstitusi Madinah juga tidak lepas dari perhatian terhadap HAM[30].

HAM dalam pandangan Islam dibagi dalam dua kategori, yaitu huququllah dan huququl Ibaad. Huququllah atau hak-hak Allah SWT adalah kewajiban-kewajiban manusia terhadap Allah SWT yang diwujudkan dalam berbagai ritual ibadah, sedangkan huququl Ibaad atau hak-hak hamba merupakan kewajiban-kewajiban manusia terhadap makhluk-makhluk Allah SWT lainnya. Menurut piagam ini, terdapat  dua macam HAM jika dilihat dari kategori Huququl Ibaad, pertama HAM yang keberadaannya dapat dilaksanakan oleh negara, kedua adalah HAM yang keberadaannya tidak secara langsung dapat dilaksanakan oleh negara. Hak-hak yang pertama dapat disebut hak legal, sedangkan yang kedua dapat disebut hak moral. Perbedaan antara keduanya adalah terletak pada masalah pertanggungjawaban di depan negara.(Bersambung)

[1]John Materson, Anggota Komisis HAM Perserikatan Bangsa Bangsa dalam BaharuddinLopa, Al-Qur’an dan HAM, Dana Bhakti Prima, Yogyakarta,tanpa tahun, hal.52

[2]Ibid.

[3]Ibid.

[4]Ibid.

[5]Hendarmin Ranadireksa dalam Muladi, HAM, Hakekad, Konsep, dan Implikasinya Dalam Perspektif Hukum dan Masyarakat, Refkia Aditama, Bandung, 2005, hlm.39.

[6]Anton Baker dalam Harun Pudjiarto, HAM, Kajian Filosofis dan Implementasinya  Dalam Hukum Pidana di Indonesia, Universitas Atmajaya, Yogyakarta, l999, hlm. 26.

[7]Op.Cit.

[8]Dikutip dari Pasal 4 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM.

[9]W. Montgomery Watt,  Propel and Statesman, New York: Oxford Uiversity Press, 1964, hal. 93. Dalam Muhamad Jamai al-Din Surur, Op. Cit.

[10]R.A. Nicholson, A Literary History of The Arabs, New York: Cambridge University Press, 1969, hal. 173

[11]Phillip K. Hitti, Capital Cities of Arab Islam, Minnesota: University of Minnesotas Press, 1973, hal. 35

[12]ZainalAbidin Ahmad, Piagam Nabi Muhammad saw: Konstitusi Negara Tertulis Yang Pertama di Dunia, Bulan Bintang, Jakarta, 1973 tanpa halaman

[13]Ibid.

[14]Nurcholish Madjid, “Cita-cita Politik Kita”, dalam Aspirasi Umat Islam Indonesia, Cetakan Pertama, Lappenas, Jakarta, 1983, hal 11

[15]JimlyAssidiqy, Konstitusi Sebagai Landasan Indonesia Baru Yang Demokratis, (Pokok Pokok Pikiran tentang Perimbangan Kekuasaan Eksekutif dan Legislatif Dalam Rangka Perubahan Undang Undang Dasar l945, Makalah, Disampaikan Dalam Seminar hukum Nasional VII, Badan Pembinaan Hukum Nasional,  Departemen Kehakiman RI, l999. hlm.146-147

[16]Ibid.

[17]Ibid.

[18]MochtarKusumaatmadja, Konsep-konsep Hukum Dalam Pembangunan, Alumni, Bandung, 2002, hlm.12.

[19]PadmoWahyono, Konsep Yuridis Negara Hukum Indonesia, Makalah, UI Press, Jakarta, l998, hlm., 2.

[20]Frederick Julius Stahl, Constirutional Government and Demokracy:Theory and Practice in Europe and America, Dalam Miriam Budihardjo,  Op.Cit. hlm.57-58.

[21]Antony Allott, The Limits of Law, London-Butterworths, 1980, hal VIII

[22]Ramdlon Naning, Cita dan Citra HAM di Indonesia, Lembaga Kriminologi Universitas Indonesia, Jakarta, 1983, hal. 1.

[23]Ibid.

[24]A. Mukthie Fajar, Tipe Negara Hukum, Bayu Media Publishing, Malang, 2005, hal. 40

[25]Ja’farSubhani, The Messege, Terjemahan Muhammad Hasyim dan Meth Kieraha, Penerbit Lentera, Jakarta, 2006, hal. 486, Arisia adalah nama komunitas yang bermukim di wilayah Kekaisaran Romawi

[26]Martin Lings, Muhammad: His life Based on the Earliset Sources, the Islamic Text Society, Cambridge: Cambridge University Press, 1999, hal. 253-256. Lihat juga: Safiur Rahman al-Mubarakpuri, al-Raheeq al-Makhtum, Saudi Arabia: Maktabah Dar al-Salam, 1996, hal. 339-348

[27]Bernard Lewis, What Went Wrong: The Clash Between Islam and Modernity in the Middle East, London; weidenfeld& Nicolson; 2002, hal. 96-97

[28]Muhammad Jamal al-Din Surur, Qiyam al-Dawlah al-Arabiyyah al-Islamyyah fi Hayati Muhammad SAW, Al-Qahirah, D»i al-Fikr al-Araby, 1977, hal 95. Dikutip kembali oleh Ahmad Sukardja, Piagam Madinah dan Undang-Undang Dasar 1945, UI Press, Jakarta, 1995, hal. 2.

[29]Miriam Budihardjo, Op.Cit, hal 120-137; Deklarasi Universal tentang Hak-hak Bangsa Aljazair 4 Juli 1976; dan Deklarasi Islam Universal tentang Hak-HAM. Juga Harun Nasution dan Bahtiar Efendy (penyunting), HAM Dalam Islam, Pustaka Firdaus, Jakarta, 1987, hal 151-167. J. Suyuthi Pulungan, Op.Cit, hal 123

[30]DahlanThaib, Teori dan Hukum Konstitusi, Raja Grafindo Persada, Jakarta, Edisi Refisi, 2001, hal 43.