Strategi ODF bagi Kabupaten dan Kota di Indonesia

Sering para relawan pemicuan sanitasi ataupun Kepala Desa/Kelurahan, Petugas Kesehatan Puskesmas, Tokoh Agama atau Kader Penggerak Kesehatan di Desa mengatakan kepada warganya ” Ayo kita bantu program Pemerintah agar setiap Desa/Kelurahan mencapai Open Defecation Free (ODF) 100% Tidak BABS (Perilaku Buang Air Besar Sembarangan)”. Pertanyaan besar adalah apa itu ODF, kenapa penting, strateginya gimana biar ODF.

Pengertian ODF bagi Desa

ODF atau open Defecation Free adalah kondisi ketika setiap individu dalam komunitas tidak buang air besar sembarangan, Pembuangan tinja yang tidak memenuhi syarat sangat berpengaruh pada penyebaran penyakit berbasis lingkungan, sehingga untuk memutuskan rantai penularan ini harus dilakukan rekayasa pada akses ini.

Agar usaha tersebut berhasil, akses masyarakat pada jamban (sehat) harus mencapai 100% pada seluruh komunitas. Makanya wajar jika setiap Kab/Kota ingin mentargetkan semua desanya ODF.ODF itu memastikan bahwa Desa/Kelurahan ODF (Open Defecation Free) kondisi 100% masyarakatnya telah buang air besar di jamban sehat, yaitu mencapai perubahan perilaku kolektif terkait Pilar 1 dari 5 pilar Sanitasi Total Berbasis Masyarakat.

Sehatkah Tinja dibuang Sembarangan

Perilaku buang air besar sembarangan (BABS/Open defecation) termasuk salah satu contoh perilaku yang tidak sehat.BABS/Open defecation adalah suatu tindakan membuang kotoran atau tinja di ladang, hutan, semak — semak, sungai, pantai atau area terbuka lainnya dan dibiarkan menyebar mengkontaminasi lingkungan, tanah, udara dan air.Tinja adalah bahan buangan yang dikeluarkan dari tubuh manusia melalui anus sebagai sisa dari proses pencernaan makanan di sepanjang sistem saluran pencernaan.

Dalam aspek kesehatan masyarakat, berbagai jenis kotoran manusia yang diutamakan adalah tinja dan urin karena kedua bahan buangan ini dapat menjadi sumber penyebab timbulnya penyakit saluran pencernaan.Eh ternyata manusia mengeluarkan tinja rata — rata seberat 100 – 200 gram per hari, namun berat tinja yang dikeluarkan tergantung pola makan.Setiap orang normal diperkirakan menghasilkan tinja rata-rata sehari sekitar 85 — 140 gram kering perorang/ hari dan perkiraan berat basah tinja manusia tanpa air seni adalah 135 — 270 gram perorang/hari.

Dalam keadaan normal susunan tinja sekitar merupakan air dan zat padat terdiri dari 30% bakteri mati, 10 — 20% lemak, 10 — 20% zat anorganik, 2 — 3% protein dan 30 % sisa — sisa makanan yang tidak dapat dicerna.Tinja manusia mengandung puluhan miliar mikroba, termasuk bakteri koli-tinja. Sebagian diantaranya tergolong sebagai mikroba patogen, seperti bakteri Salmonela typhi penyebab demam tifus, bakteri Vibrio cholerae penyebab kolera, virus penyebab hepatitis A, dan virus penyebab polio. Tingkat penyakit akibat kondisi sanitasi yang buruk di Indonesia sangat tinggi.

Strategi agar desa anda itu ODF.

Berdasarkan pengalaman penulis terkait ODF, maka data kepemilikan jamban menjadi penting, data bisa berasal dari pendataan RT/RW yang dilaporkan kepada Desa/Kelurahan, bisa pakai data Sistem Informasi Pembangunan Berbasis Masyarakat (SIPBM) atau bisa juga menggunakan data manual lewat pendataan RT dan RWnya, termasuk data dari sanitarian asalkan berbunyi data by name by address yang sudah tervalidkan.

Dari data tersebut, desa bisa melakukan proses pemicuan, caranya adalah minta fasilitasi pihak puskesmas setempat, jika mengandalkan petugas sanitarian saja sampai kapanpun tidak bakal ODF/BABS, harus ada relawan Pemicu ODF/BABS, mereka berasal dari keterwakilan RT dan RW, lalu di SK kan oleh pihak Desa. Bila perlu dibantu dana konsumsi saat ada kegiatan pemicuan di lingkungannya.

Baseline data kepemilikan jamban harus disepakati mau diselesaikan dalam kurun waktu berapa bulan/Tahun. Sehingga target akan tercapai sesuai dengan kesepakatan bersama.Aspek pemicuan, wajib bagi sanitarian mentransfer ilmunya kepada para relawan penggerak ODF, dan selalu memberikan motivasi jika ada temuan persoalan yang belum terpecahkan.Pemkab/Pemkot harus mampu memotivasi para pengusaha mikro untuk jadi wirausaha jamban, sehingga mengurangi cost biaya pembuatan jamban di rumah yang mendapatkan sasaran jamban.

Pola bisa berbagai model, misalnya lewat bantuan sosial dari alokasi dana APBD, atau Dana Desa, atau bisa saja dengan pola stimulan lewat subsidi silang dengan pihak Dunia Usaha atau bisa juga dengan donatur pengusaha sukses yang peduli jamban bagi keluarga miskin. Termasuk bisa dengan Badan Amil Zakat (Baznas) Kab/Kota.Yang lebih keran lagi adalah kerjasama dengan lembaga keuangan mikro, dimana lembaga keuangan ini memberikan skim pinjaman pembuatan jamban yang sudah disetujui, pihak penerima tinggal mengangsur bulanan, yang tentunya diperhitungkan sisi pilihan jambannya. Mau yang sederhana dengan pagu minimalis, atau pagu maksimal.

Bila di satu kabupaten/kota ini berinteraksi dan saling memperkuat maka akan cepat target ODF tercapai. Misalkan ada baseline kepala keluarga yang tidak punya jamban 250.000, kita targetkan dalam 3 tahun adalah 100.000 sasaran, maka harus dipilah dan dipilih mana yang penerima sasaran dari dana APBD kab/kota, sasaran dari dana desa, sasaran dana stimulan, sasaran dari lembaga keungan mikro dan sasaran dari dunia usaha, dan mana yang swadaya murni tapi butuh akses informasi saja.

Semua mesti ada tantangan dan hambatan, namun jika dimusyawarahkan jelas akan berdampak pada masyarakat. Apalagi tahun 2019 adalah tahun politik, tentunya peluang bagi desa untuk melakukan komunikasi politik dengan pihak calon legislatif agar mereka pun peduli dengan jamban sehat untuk warga miskin.Jangan malas untuk berkomunikasi dan setiap perbuatan atau kegiatan mesti ada tantangan dan hambatan, harus dilakukan dengan pola transparan dan jujur jika ingin usaha ini berhasil.

Sumber : https://www.kompasiana.com