Pesan Terakhir Gus Dur kepada Gus Mus: ‘Aku Titip NU, Aku Titip NU’

Siang itu, di rumah sederhana penuh kehangatan dan keakraban, dua orang sahabat KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan KH Ahmad Mustofa Bisri (Gus Mus) membincang segala seuatu dengan renyah penuh humor-humor segar.

Gus Dur yang ditemani istrinya Sinta Nuriyah duduk lesehan bahkan terkadang tiduran di rumah Gus Mus. Konon, seperti diriwayatkan oleh KH Husein Muhmmad Cirebon dalam Gus Dur dalam Obrolan Gus Mus(2015), pertemuan kedua sahabat tersebut terjadi sekitar seminggu sebelum Gus Dur berpulang atau wafat.

Gus Dur memang kerap mampir di kediaman Gus Mus. Pertemuan terakhir dengan Gus Mus di Leteh, Rembang itu memang sedikit mengundang tanda tanya. Hal itu muncul mengingat Gus Dur masih dalam kondisi sakit. Bahkan, selama 10 hari, Gus Dur sulit makan.

Namun, di rumah Gus Mus, Gus Dur justru begitu semangat melahap makanan sederhana yang disediakan oleh Gus Mus dan keluarga. Hal ini membuat Sinta Nuriyah sedikit terkesiap karena selama hampir dua minggu Gus Dur sulit makan.

Dalam momen berharga tersebut, Gus Mus mengungkapkan, seperti biasa Gus Dur datang ke rumahnya sekadar ingin bertemu, istirahat, dan lesehan di atas tikar sambil ngobrol ke sana kemari, kadang sambil tiduran.

Obrolan bareng Gus Mus hampir selesai. Walaupun Gus Dur mengatakan bahwa mampirnya dia hanya sebentar, tetapi tak terasa hampir dua jam berlalu dua sahabat itu bercengkerama. Sedang asyik-asyiknya ngobrol dan bercanda ria, tiba-tiba Gus Dur bilang, “Gus Mus, aku harus segera berangkat ke Tebuireng, aku dipanggil Si Mbah.”

Gus Mus paham betul apa yang dimaksud ‘Si Mbah’ oleh Gus Dur. Ia adalah Hadratussyekh Hasyim Asy’ari, kakek Gus Dur. Gus Dur kemudian bangkit dan mohon pamit kepada Gus Mus dan keluarganya untuk meneruskan perjalanan ke Jombang memenuhi panggilan kakeknya yang ‘dibisikkan’ kepadanya itu.

Jika Si Mbah sudah memanggil, Gus Dur akan segera datang, tanpa berbicara papun. Begitu pula jika ibunya memanggil. Di tengah perjalanan menuju Tebuireng, tetiba Gus Dur juga ingin menyambangi atau berziarah ke makam Mbah Wahab Chasbullah Tambakberas, guru pertama yang mengajari Gus Dur kebebasan berpikir.

Setelah itu, Gus Dur langsung menuju ke makam kakek, ayahnya dan anggota keluarga lainnya di Tebuireng. Gus Dur berjalan kaki menuju makam. Seperti biasa, Gus Dur membaca tahlil dan berdoa dengan khusyu beberapa saat. Konon diceritakan, Gus Dur tidak hanya sekadar berdoa, tetapi ia sedang berbicara dengan sang kakek.

Gus Dur menyimpan banyak pesan seperti mengapa harus berkunjung ke Gus Mus, tidak berkunjung ke sahabat yang lain?

Terkait pertanyaan ini, suatu hari KH Husein Muhammad Cirebon diajak makan oleh Sinta Nuriyah Abdurrahman Wahid di rumah temannya di bilangan Menteng, Jakarta Pusat. Teman itu seorang produser film terkemuka di Indonesia.

Di tempat tersebut juga bergabung sejumlah tokoh seperti Djohan Efendi, mantan menteri sekretaris negara era Presiden Gus Dur dan Saparinah Sadli, guru besar Universitas Indonesia.

Di tengah obrolan, Kiai Husein berkesempatan menanyakan tentang pertemuan terakhir Gus Dur dengan Gus Mus, seminggu sebelum kepulangannya.

Sinta Nuriyah menjawab, “Ya, seminggu sebelum Gus Dur pulang, kami mampir ke Gus Mus. Hubungan Gus Dur dan Gus Mus sangat dekat. Gus Dur seperti ingin pamit pulang. Di situ, Gus Dur pesan kepada Gus Mus, ‘Aku titip NU, aku titip NU’. Dan Gus Mus seperti kaget sekali mendengar ‘wasiat’ itu, tetapi tak bisa menolak, meski juga tak sanggup menjalankan amanat agung itu.” (Fathoni/NUOnline)

Sewaktu nyantri di Tambak Beras, Jombang, Gus Dur didapuk sebagai kepala keamanan pondok. Sebagai kepala keamanan, Gus Dur pernah menangkap seorang pencuri yang “aneh”.

Si pencuri adalah adalah seorang santri. Si pencuri ini mengambil CD, BH, dan “underwear” para santri putri. Hal yang tidak bisa dinalar, perbuatan itu dilakukan tidak hanya sekali tetapi beberapa kali. Karena itu Gus Dur mengambil tindakan dengan memulangkan si santri itu.

Setelah memulangkan si santri “aneh” itu, Gus Dur melaporkan perbuatannya kepada K.H. Fattah. Tetapi ternyata Gus Dur mendapati hal yang di luar dugaan. Malang tak dapat ditolak, untung tak dapat diraih. Ia bukannya dipuji Kyai Fattah, tetapi malah dimarahi dan disuruh menjemput si santri agar kembali nyantri.

Hal yang menjengkelkan Gus Dur adalah ketika kembali ke pondok ternyata si santri malah dibuatkan ruang khusus oleh Kiai Fattah.

Saya yakin, seandainya kita dalam posisi Gus Dur, kita pun akan melakukan hal yang sama. Dan itu tidak salah. Tetapi Kyai Fattah yang memiliki “mata batin” yang tajam memiliki pandangan lain. Karena pada akhirnya si santri yang “aneh” itu ternyata menjadi kyai yang santrinya ribuan. Yang tak kalah pentingnya adalah, sikap Gus Dur yang legowo terhadap sikap dan tindakan kyai Fattah.