Peran Badan Permusyawaratan Desa di Dalam Pembangunan Desa dan Pengawasan Keuangan Desa

Pemberlakuan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa berimplikasi pada kucuran dana miliaran rupiah langsung ke desa yang bersumber dari alokasi dana desa. Kepala desa sebagai pemimpin desa harus dapat menerapkan fungsi manajemen sejak perencanaan, pengorganisasian, penggerakan, dan pengawasan untuk mengatur desanya supaya lebih maju. Berdasarkan peraturan per-UU-an yang ada, pemerintah desa dibantu oleh Badan Permusyawaratan Desa.

UU Desa ini membawa semangat dan harapan baru untuk mewujudkan desa yang mandiri. Diharapkan segala kepentingan dan kebutuhan masyarakat desa dapat diakomodasi dengan lebih baik. Pemberian kesempatan yang lebih besar kepada desa untuk mengurus tata pemerintahannya sendiri serta pemerataan pelaksanaan pembangunan diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan dan kualitas hidup masyarakat desa, sehingga permasalahan seperti kesenjangan antar wilayah, kemiskinan dan masalah sosial budaya lainnya dapat diminimalisasi. UU Desa beserta peraturan pelaksananya telah mengamanatkan pemerintah desa untuk lebih mandiri dalam mengelola pemerintahan dan berbagai sumber daya alam yang dimiliki, termasuk kemandiriannya dalam tata kelola keuangan.

Pasal 1 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2014 tentang Dana Desa yang bersumber dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (PP 60/2014), menyatakan bahwa dana desa adalah dana yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan dana tersebut ditransfer lewat Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) kabupaten/kota, yang selanjutnya ditransfer ke APB Desa. Dana desa yang bersumber dari APBN hanya diperuntukkan bagi desa digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintah desa, pelaksanaan pembangunan, pembinaan kemasyarakat an, dan pemberdayaan masyarakat. Desa mendapatkan gelontoran dana yang cukup besar yang salah satunya berasal dari APBN dan bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, karena hakikat anggaran adalah anggaran bersumber dari uang rakyat yang dikelola oleh pemerintah dalam bentuk APBD dan APBN untuk kesejahteraan rakyat. Oleh karena itu, rakyat berhak mengetahui alokasi dana yang dibelanjakan oleh pemerintah.

Pengaturan desa yang baru ini berpengaruh juga pada perubahan mekanisme tata kelola keuangan di desa yang diatur melalui Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 113 Tahun 2014 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Desa, karena pengelolaan keuangan merupakan hal yang paling sensitif dalam tata kelola pemerintahan desa, maka pengaturannya harus transparan, partisipatif, akuntabel terta dilakukan tertib dan disiplin anggaran. Sumber keuangan desa sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 76 ayat (1) UU Desa terdiri dari: pendapatan asli desa, dana transfer (dana desa, alokasi dana Desa/ADD, bagi hasil pajak dan retribusi daerah), bantuan keuangan dan pendapatan desa lain yang sah. Peran besar yang diterima oleh desa tentunya disertai dengan tanggung jawab yang besar pula. Oleh karena itu pemerintah desa harus bisa menerapkan prinsip akuntabilitas dalam tata pemerintahannya, yang mana semua akhir kegiatan penyelenggaraan pemerintah desa dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat desa sesuai dengan ketentuan.

Di samping mengatur mengenai kedudukan, fungsi, dan peran pemerintahan desa, UU Desa juga menjelaskan bagaimana keterwakilan dari penduduk dengan pembentukan Badan Permusyawaratan Desa (BPD). Pasal 1 angka 4 UU Desa menyatakan BPD atau yang disebut dengan nama lain adalah lembaga yang melaksanakan fungsi pemerintahan yang anggotanya merupakan wakil dari penduduk desa berdasarkan keterwakilan wilayah dan ditetapkan secara demokratis.BPD ini memiliki fungsi strategis dalam penetapan kebijakan desa serta pengawasan yang dilakukannya kepada pemerintah desa karena fungsinya selaku badan pengawas. Pengawasan terhadap pelaksanaan pemerintahan merupakan salah satu alasan terpenting  mengapa BPD perlu dibentuk.

Upaya pengawasan dimaksudkan untuk mengurangi adanya penyelewengan atas kewenangan dan keuangan desa dalam penyelenggaraan pemerintahan desa.12 Pasal 55 UU Desa menyatakan bahwa BPD mempunyai fungsi:

a) membahas dan menyepakat rancangan peraturan desa bersama kepala desa;

b) menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat desa; dan

c) melakukan pengawasan kinerja kepala desa.

Merujuk pada ketiga fungsi tersebut, pada hakikatnya BPD menjadi lembaga yang menjalankan mekanisme check and balances dalam penyelenggaraan pemerintahan desa. Setidaknya jika mengacu pada proses pembahasan UU Desa itu sendiri. Pembahasan RUU Desa antara Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Dewan Perwakilan Rayat (DPR) dan pemerintah. Jacob Jack Ospara yang mewakili DPD menegaskan bahwa pemerintahan desa yang kuat bukan dalam pengertian bentuk pemerintahan yang otoritas (misalnya dengan masa jabatan yang terlalu lama), namun bentuk pemerintahan desa dengan tata pemerintahan yang demokratis yang dikontrol (check and balances) oleh institusi lokal seperti BPD atau badan musyawarah serta elemen masyarakat setempat.

Masyarakat desa sangat berharap agar BPD bisa menjalankan fungsinya dalam bidang pengawasan terutama penggunaan dana desa. Hal ini sebagai konsekuensi atas berlakunya UU Desa dikarenakan adanya kucuran dana miliaran rupiah langsung ke desa yang bersumber dari alokasi dana desa yang merupakan bagian dari dana perimbangan yang diterima kabupaten/kota.Banyaknya sumber keuangan yang diperoleh desa, maka penggunaannya dan pengelolaannya akan bervariasi juga. Dengan kompleksnya keuangan desa yang harus dikelola, maka dapat dipertanyakan mengenai masih mampukah BPD dengan segala keterbatasan untuk mengawasi dana tersebut, di mana BPD merupakan wujud dari perwakilan masyarakat, karena seringkali yang menjadi perdebatan dalam UU Desa adalah ketidak-optimalan kinerja dari BPD yang sebenarnya menjadi faktor penting dari implementasi UU. Kinerja BPD dalam mengontrol pemerintahan desa dari segi pengelolaan pengawasan keuangan perlu ditingkatkan dari berbagai aspek, untuk mewujudkan pembangunan desa yang sejahtera yang akan dibahas dalam tulisan ini.