PENGATURAN HAK ASASI MANUSIA MENURUT UUD RI 1945 DLM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM (Lanjutan)

Pembahasan

Pengaruh Hukum Islam Terhadap HAM di Indonesia

Dalam pandangan Hukum Islam, HAM merupakan anugrah dari Allah SWT yang tidak dapat diganggu gugat oleh sesama manusia dan dilepaskan dari diri manusia. Seperti telah disebutkan sebelumnya, bahwa HAM yang termuat dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan Pancasila itu adalah saling terkait. Pancasila sendiri pada hakekatnya mengandung pokok-pokok kehendak, yaitu:

  1. Ketuhanan merupakan kehendak yang normatif;
  2. Loyality tolerantie dalam hubungan dengan Bhinneka Tunggal Ika; dan
  3. Proses jiwa kekeluargaan dan kegotong-royongan menuju hikmat yang bijaksana untuk semua rakyat dan negara.

Sangat tepat kiranya apabila dikatakan bahwa jiwa dan hakekat Pancasila pada dasarnya telah melandasi perjuangan untuk memperoleh hak-hak kemerdekaan/kebebasan seluruh bangsa Indonesia. Hak kemerdekaan/kebebasan ini pulalah yang merupakan hak terpenting dalam kehidupan bangsa Indonesia selanjutnya. Di dalam Undang-Undang Dasar 1945, HAM termuat dalam Pembukaan dan Batang Tubuh yang secara garis besar adalah sebagai berikut:

Di dalam pembukaan UUD l945, HAM tercermin di dalam Alinea I, yaitu tentang Pengakuan adanya kebebasan untuk merdeka; pada Alinea II dinyatakan bahwa Indonesia sebagai negara yang adil. Pernyataan ini menunjukkan bahwa jika keadilan itu benar-benar dijalankan, maka hal ini akan menjamin terhadap terpeliharanya hak-hak asasi. Alinea III, memuat Pernyataan bahwa bangsa Indonesia untuk merdeka. Ini merupakan salah satu pengakuan dan perlindungan HAM, dan pada Alinea IV memuat dasar Negara, yaitu Pancasila yang  mendasari  keseluruhan HAM.

  Selanjutnya di dalam batang tubuh UUD 1945 sebelum perubahan, HAM termuat dalam 8 (delapan) pasal yaitu Pasal 27, 28, 29, 30, 31, 32, 33 dan 34 yang secara garis besar memuat tentang seluruh bidang-bidang sosial, ekonomi, kebudayaan dan politik. Komparasi tentang ketentuan-ketentuan HAM dalam pasal-pasal UUD l945 tidak berbeda jauh dengan ajaran-ajaran HAM dalam Hukum Islam. Beberapa persamaan antara Undang-Undang Dasar 1945 dengan Hukum Islam mengenai perlindungan HAM, pada dasarnya sama-sama memberikan hak persamaan dan hak kebebasan yang secara global sudah mencakup beberapa bidang yakni sosial, politik, ekonomi dan kebudayaan dengan masing-masing rincian dari bidang-bidang tersebut.

Namaun demikian terjadi perbedaan dalam sejarah pengaturan HAM di Indonesia dan pengaturan dalam Hukum Islam, di Indonesia baru dilakukan setelah bangsa Indonesia terlepas dari cengkeraman penjajah. Perlindungan HAM tersebut kemudian dituangkan dalam Undang-Undang Dasar 1945 yang di dalamnya terdapat ketentuan-ketentuan dan pasal-pasal yang berhubungan dengann jaminan perlindungan hak-HAM atau warga negara yang terdiri dari delapan pasal secara garis besar yaitu pasal 27, pasal 28, pasal 29, pasal 30, pasal 31, pasal 32, pasal 33 dan pasal 34. Sedangkan dalam Hukum Islam, perlindungan HAM sudah ada sejak lama, yaitu sejak adanya Islam itu sendiri. Pernyataan tentang perlindungan HAM menurut catatan sejarah sudah dikenal sejak peristiwa hajjatul wada’ yakni haji perpisahan yang pada saat itu Rasulullah SAW menyampaikan khutbah.

Di samping itu, perbedaan dalam hal perlindungan HAM dalam UUD 1945, dan Hukum Islam terletak dalam kewajiban sebagai imbangan pemberian hak. Dalam UUD 1945, HAM bersumber pada Pancasila dan eksistensi manusia sebagai makhluk hidup pribadi dan makhluk sosial. Sebagai makhluk sosial, warga negara tidak hanya menuntut haknya pada negara, akan tetapi harus menyadari juga bahwa dia mempunyai kewajiban terhadap negara yang harus ditunaikan. Kewajiban yang harus diberikan sebagai imbalan pemberian hak adalah pertanggungjawaban kepada negara, perlindungan HAM tertuang dalam Undang-Undang Dasar Negara. Sedangkan dalam Islam, adanya hak ini adalah pemberian Allah SWT. Oleh karena itu manusia yang diberi hak baik yang berupa Huququlllah,  maupun Huququl Ibaad, maka dalam pelaksanaannya merupakan kewajiban yang harus dipertanggungjawabkan kepada Allah SWT.

Ali Gharisah berpendapat bahwa HAM menurut Hukum Islam berbeda dari HAM buatan manusia, termasuk HAM menurut Undang-Undang Dasar 1945, sebab:

  1. HAM menurut Hukum Islam keberadaanya lebih dulu..
  2. HAM menurut Hukum Islam lebih mendalam.
  3. HAM menurut Hukum Islam lebih kokoh.
  4. HAM menurut Hukum Islam juga lebih menyeluruh.
  5. HAM menurut Hukum Islam lebih kekal (tidak bisa diubah).

 Allah SWT telah rela menjadikan agama-Nya sebagai agama terakhir dari Rasulullah SAW sebagai Nabi Penutup. Di dalam agama Islam itulah diletakkan nilai-nilai HAM, khususnya dalam menempatkan umat manusia dalam posisi yang sama, dan tidak mengenai perbedaan kecuali karena iman dan taqwanya.

  1. Pengaruh Piagam Madinah Terhadap Perkembangan HAM di Indonesia

Piagam Madinah dibuat atas persetujuan bersama antara Nabi Muhammad SAW dengan wakil-wakil penduduk kota Madinah tak lama setelah beliau hijrah dari Mekkah ke Yatsrib atau nama kota sebelum Madinah pada 622M. Piagam Madinah difungsikan dalam praktik kegiatan bernegara di dalam masyarakat  Madinah yang majemuk. Kondisi pada saat itu  tidak jauh  berbeda  dengan  praktik ketatanegaraan  di  Indonesia dalam melahirkan UUD   1945  di  zaman  awal kemerdekaan hingga amandemen nya atau perubahan menjadi  UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945 di masa reformasi. Banyaknya antara UUD 1945 dengan Piagam Madinah, namun banyaknya kesamaan bukan berarti tidak ada perbedaannya. Perbedaaan yang cukup mendasar adalah masalah syariat Islam.

Di dalam Piagam Madinah kedudukan syariat Islam lebih eksplisit dibanding dengan isi UUD 1945, bahkan Piagam Jakarta yang pada awalnya memuat kalimat “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”, untuk menjamin persatuan  nasional  maka kalimat  tersebut  dicoret  ketika naskah Undang-Undang Dasar 1945 itu dibahas untuk terakhir kalinya dan kemudian disahkan dalam Rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 18 agustus 1945. Adanya Piagam Madinah ini juga sebagai bukti bahwa praktek-praktek kegiatan kenegaraan dalam tradisi Islam telah menyumbangkan banyak hal penting untuk kajian ilmu politik dan hukum tata Negara modern, termasuk dokumen yang dapat disebut sebagai konstitusi tertulis dalam pengertian modern.

Tradisi bernegara konstitusional atau constitutional government bukanlah merupakan tradisi khas masyarakat Barat, tetapi jauh sebelum itu, peradaban dunia Islam telah mempraktekannya dan bahkan mempelopori pengembangannya sejak masa Nabi Muhammad SAW. Berkaitan dengan pengertian Konstitusi dan Undang-Undang Dasar, dalam hal ini khususnya mengenai Konstitusi Madinah dengan UUD 1945, ada beberapa pendapat bahwa pada umumnya suatu konstitusi berisi tiga hal pokok menurut Mr. J.G. Steenbeek sebagaimana yang telah dikutip oleh Sri Soemantri, menyatakan sebagai berikut[1] :

  1. pertama, adanya jaminan terhadap HAM dan warga negaranya;
  2. kedua, ditetapkannya susunan ketatanegaraan suatu Negara yang bersifat fundamental; dan
  3. ketiga, adanya pembagian dan pembatasan tugas ketatanegaraan yang juga bersifat fundamental.

Selanjutnya menurut Miriam Budihardjo, setiap Undang-Undang Dasar memuat ketentuan-ketentuan mengenai:

  1. Organisasi Negara, misalnya pembagian kekuasaan antara badan legeslatif, eksekutif dan yudikatif; pembagian kekuasaan antara pemerintah federal dan pemerintah Negara bagian; prosedur menyelesaikan masalah pelanggaran yurisdiksi oleh salah satu badan pemerintah dan sebagainya;
  2. HAM;
  3. Prosedur mengubah Undang-Undang Dasar; dan
  4. Adakalanya memuat larangan untuk mengubah sifat tertentu dari undang-undang Dasar[2].

Berdasarkan pengertian terhadap konstitusi dan Undang-Undang Dasar, keduanya secara jelas dan tegas mengakui keberadaan adanya HAM. Persoalan HAM sepanjang masa merupakan masalah yang selalu aktual. Pada dasarnya Undang-Undang Dasar 1945 dan Hukum Islam sama-sama menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia, sehingga hak-hak asasi tersebut dilindungi. Namun dalam memberikan perlindungan tersebut selain terdapat kesamaan ada pula perbedaaannya. Untuk menguak persamaan dan perbedaan itulah yang mendorong penyusun untuk memperbandingkan antara Undang-Undang Dasar 1945 dari Hukum Islam tentang perlindungan HAM. Manusia dilahirkan meskipun dengan beda warna kulit, suku dan bahasa, namun mereka secara manusiawi mempunyai hak dan kewajiban yang sama dalam mengemban hidup dan kehidupan. Sejak lahir manusia mempunyai hak tabi’i yang berlaku menurut fitrahnya, misalnya hak hidup dan merdeka. Hak tabi’i yang melekat pada manusia sejak lahir ini, maka berarti tidak ada seorangpun yang berhak melepas atau mencabutnya.

Di Indonesia, sebelum dilakukanya amandemen terhadap Undang Undang Dasar l945, perlindungan hak-HAM warga negaranya dituangkan dalam Undang-Undang Dasar 1945. Di dalam penjelasannya ditegaskan bahwa negara Republik Indonesia adalah suatu Negara yang berdasarkan atas hukum. Dalam Undang-Undang Dasar 1945 jaminan hak-hak asasi diatur dalam pasal 27,28,29,30,31, 32, 33 dan 34. Dalam pasal 6 Deklarasi hak-HAM disebutkan bahwa “Setiap orang berhak diakui sama menurut hukum dan berhak akan perlindungan hukum yang sama tanpa adanya diskriminasi”. Hal ini berarti bahwa Negara Republik Indonesia menjunjung tinggi HAM dan menjamin segala warga negara dengan persamaan kedudukan di dalam hukum dan pemerintahan serta wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya, jaminan perlindungan HAM ini sekaligus merupakan jaminan perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia dan demikian mereka tidak ada lagi diskriminasi manusia.

HAM dalam pandangan Islam berangkat dari ke-Esa-an Illahi yang telah menciptakan manusia. Allah SWT pula yang membangun sistem yang merupakan manifestasi kehidupan yang akan menjadi terapan misi-Nya, patuh pula kepada pemerintah sesuai dengan batasan-batasan yang telah digariskan oleh Islam sebagai Ikhtiar membersihkan pandangan kekuasaan dan paham yang berbau syirik dan khurofat serta menghapuskan pendewaan terhadap makhluk.

Pengaruh Islam Terhadap HAM dalam Perundang-undangan di Indonesia

Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974

Sebagaimana diketahui bahwa, Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan disahkan dan diundangkan di Jakarta pada tanggal 2 Januari 1974 (Lembaran Negara Tahun 1974 Nomor Tambahan Lembaran Negara Nomor 3019). Sebenarnya umat Islam dan Pemerintah Indonesia sudah lama berusaha membuat Perundang-undangan yang mengatur masalah perkawinan secara nasional. Proses pendahuluan yang dilakukan adalah diajukannya rencana Undang-undang Perkawinan kepada DPRGR masing-masing dengan Amanat Presiden RI tanggal 30 Mei 1967 Nomor HA/007/67 dan Amanat Presiden RI tanggal 7 September 1968 Nomor 010/PH/HU9/1968[3].

Undang-undang ini baru terbentuk pada masa pemerintahan Orde Baru, itupun setelah melalui berbagai “liku-liku” perjalanan sejarah pembentukan yang panjang, dan tepatnya pada tahun l974, terbentuklah  Undang-undang yang mengatur masalah perkawinan, yaitu Undang Undnag Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Di dalam undang-undang ini, secara substansial banyak mengakomodir pengaruh hukum Islam, seperti diprbolehkanya poligami dengan persyaratan yang ditentukan, hak mewaris anak, syarat perkawinan, perceraian, dan lain sebagainya. Di dalam undang-undang ini sangat jelas bagaiman peinsip-prinsip hukum Islam diakomodir  di dalam pasal-pasal Undang Undang Nomor 1 Tahun l974 tersebut.

Undang-undang Peradilan Agama

Undang Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agarna disahkan dan diundangkan di Jakarta pada tanggal 29 Desember 1989 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1989 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3400). Menurut penelitian Amir Islam Luthfi, Hukum Islam pernah dilaksanakan secara murni di Indonesia karena pemerintah menghendakinya. Pada masa penjajahan Belanda, embrio Peradilan Agama tidak bisa diabaikan, sebab sudah menyatu dengan masyarakat dan secara politis Belanda punya kepentingan dengan peradilan tersebut[4].

Selanjutnya menurut Mahfud MD, bahwa secara teoritis hanya agama Islam yang dapat memiliki pengadilan agama dan hanya pengadilan agama Islam yang mungkin diadakan di negara Pancasila ini[5]. Pernyataan Mahfud tersebut dikaitkan dengan syarat untuk beroperasinya sebuah pengadilan. Menurut Mahfud, ada tiga syarat yang memungkinkan adanya lembaga peradilan yaitu adanya legalitas (peraturan hukum yang membenarkan), adanya perangkat kelembagaan (hakim-hakim dan fasilitas fisiknya) dan adanya hukum material yang dapat dijadikan pedoman dalam kompetensi absolutnya.

Undang-undang Penyelenggaraan Ibadah Haji

Undang-undang Nomor 17 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji disahkan dan diundangkan di Jakarta pada tanggal 3 Mei 1999 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3832[6]. Namun kemudian Undang-undang tersebut digantikan dengan Undang-undang No. 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji.

Secara etimologi, haji berasal dari kata al-hajj yang mempunyai arti tujuan, maksud dan menyengaja[7]. Sedang terminologi atau definisi haji adalah menyengaja berkunjung ke Baitullah (Ka’bah) untuk melaksanakan ihram, wukuf, thawaf, sa’i dan amalan ibadah-ibadah lainnya pada masa demi memenuhi perintah Allah dan mengharap keridhoan-Nya[8].

Sebagai salah satu bukti bahwa undang-undan haji ini mengakomodir hukum islam, adalah bahwa dalam ibadah Haji diwajibkan pertama kali pada tahun 9 Hijriah setelah turun perintah Allah SWT dalam Al Qur’an Surat Ali Imron 97: “…mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah… ” Nabi Muhammad SAW baru melaksanakan haji pada tahun 10 Hijriah, sebab pada saat turun perintah haji, bulan haji sudah terlewati.

Mampu yang dimaksudkan di atas, baik secara finansial, fisik maupun psikis. Tentu saja kemudian harus terpenuhi syarat, rukun dan wajib dari ibadah tersebut. Ibadah haji termasuk ibadah yang komplek penyelenggaraannya, disamping memerlukan “kemampuan” tersebut, juga melibatkan banyak pihak, termasuk institusi di dalam negeri dan luar negeri. Kesalahan satu aspek bisa berakibat fatal, sebab menyangkut banyak kepentingan di dalamnya. Hikmah ibadah haji banyak sekali, utamanya untuk meningkatkan ketakwaan kepada Allah SWT dan menjalin ukhuwah Islamiyah sesama umat Islam di seluruh dunia.

Undang-undang Pengelolaan Zakat

Undang-undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat disahkan dan diundangkan di Jakarta pada tanggal 23 September 1999 Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 164, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3885[9]. Secara etimologis, kata zakat berasal dari kata zaka yang artinya suci, subur dan berkah[10]. Secara terminology, zakat berarti pemberian sejumlah harta yang diwajibkan oleh Allah untuk disampaikan kepada orang yang berhak menerimanya sesuai ketentuan syara’.

Zakat merupakan salah satu dari lima rukun Islam yang memiliki dua dimensi. Dimensi spiritual atau vertikal dengan Tuhan dan dimensi sosial atau horisontal dengan sesama manusia[11]. Meskipun zakat masuk dalam bahasan “Ibadah” karena terkait dengan shalat, sesungguhnya bagian dari sistem sosial-ekonomi Islam. Karena itu sering zakat dibahas dalam buku-buku tentang strategi huloim dan ekonomi Islam[12]. Al Qur’an menyebutkan 30 kali tentang kewajiban zakat, 28 diantaranya bergandengan dengan penyebutan tentang kewajiban shalat. Kewajiban zakat dalam Al Qur’an, salah satunya disebutkan dalam Surat Al Baqarah ayat 43: “Dan dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat dan rukuklah bersama orang-orang yang rukuk”. Sementara pendistribusian zakat disebutkan dalam Surat At-Taubah ayat 60: “Sesungguhnya zakat-zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengelola zakat, para muallaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah, dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan”.

Dalam pandangan Islam, zakat sebagai bentuk ibadah yang memiliki posisi yang sangat potensial sebagai sumber pendapatan dan pembelanjaan dalam masyarakat muslim. Bermanfaat mengatasi berbagai macam sosial cost yang disebabkan interaksi manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Karena itu Islam mengajarkan menanggulangi kemiskinan. Bahkan menurut Rasulullah, kemiskinan mendekatkan kepada kekufuran. Menurut Hadits Nabi yang disepakati jumhur ulama, bahwa ada empat cara menanggulangi kemiskinan dan kemelaratan, yaitu:

  1. bekerja dengan giat dan bersemangat
  2. keluarga yang lemah menjadi tanggung jawab keluarga yang kuat
  3. kewajiban membayar zakat
  4. ada jaminan pemerintah untuk keluarga yang tidak mampu[13].

Esensi hadits di atas paralel dengan beberapa pasal dalam UUD 1945, seperti pasal 5 ayat (1), pasal 20 ayat (1), pasal 29 dan pasal 34. Karena itu, sebagai   negara  yang  menjamin  warganya  melaksanakan  ajaran  agamanya, melindungi  fakir miskin  dan  untuk  mewujudkan  kesejahteraan  masyarakat Indonesia sebagaimana tercantum dalam UUD 1945, maka pemerintah perlu membuat perangkat yuridis untuk mendukung upaya tersebut. Kemudian lahirlah   Undang Undang   Nomor   38   Tahun   1999   tentang   Pengelolaan Zakat

Untuk melaksanakan undang-undang tersebut dibentuklah Keputusan Presiden Nomor 8 tahun 2001 tentang Badan Amil Zakat Nasional yang di dalamnya mencantumkan perlunya tiga komponen untuk melaksanakan pengelolaan zakat, yaitu Badan Pelaksana, Dewan Pertimbangan dan Komisi Pengawas. Sebelum berlakunya undang-undang di atas, sejak masa penjajahan Belanda sudah ada perundang-undangan yang berkaitan dengan zakat, yaitu Bijblad Nomor 2 tahun 1893 tanggal 4 Agustus 1893 dan Bijblad Nomor 6200 tanggal 28 Februari 1905[14].

Undang-undang Tentang Wakaf

Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf disahkan dan diundangkan di Jakarta pada tanggal 27 Oktober 2004 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor159, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4459).  Selanjutnya pada tanggal   15  Desember 2006 ditetapkanlah peraturan perintah Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan undang-undang Nomor “41 Tahun 2004 tentang Wakaf. Maksud penyusunan peraturan pelaksanaan (PP ini adalah untuk menyederhanakan pengaturan yang dipahami   masyarakat,   organisasi   dan  badan  hukum,   serta  pejabat pemerintahan yang mengurus perwakafan, BWI dan LKS, sekaligus menghindari berbagai kemungkinan perbedaan penafsiran terhadap ketentuan yang berlaku.

Wakaf adalah salah satu bentuk ibadah dalam ajaran Islam yang memiliki potensi sosial serta ekonomi serta dapat digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan umat. Peranan wakaf di negara kita tidak dapat kita abaikan. Hampir bisa dipastikan bahwa setiap bangunan yang berfungsi keagamaan, sosial, apakah berupa tempat ibadah, komplek keguruan pendidikan, pusat-pusat penyiaran Islam maupun tempat-tempat amal kebajikan lainnya, lazimnya selama ini berdiri di tanah wakaf. Manfaat lembaga wakaf bila diperhatikan lebih dalam sampai-sampai kedudukannya dalam syari’at digolongkan shadaqoh jariah, yakni suatu kebajikan yang manfaat dan pahalanya terus mengalir. Keyakinan ini berasal dari nilai-nilai yang ada dalam Islam, dan terus mengispirasi umat muslim melalui undang-undang Zakat, sehingga berdasarkan cermatan terhadap undang-undnag zakat dapat disimpulkan bahwa pengaruh prinsip-prinsip Islam dalam undang-undang zakat ini sangat kuat sekali.

Undang-undang Penyelenggaraan Keistimewaan Daerah Istimewa Aceh

Undang-undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Daerah Istimewa Aceh disahkan dan diundangkan di Jakarta pada Tanggal 4 Oktober 1999 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 172, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3893). Undang-undang ini terbentuk sebagai dampak dari tuntuan reformasi, sehubungan dengan dijaminya hak asasi dalam kemerdekaan mengeluarkan pendapat. Pemerintah pun sangat responsif terhadap aspirasi masyarakat. Kehidupan demokrasi berjalan dinamis. Aspirasi rakyat Aceh yang selama Orde Baru tidak tersalurkan, kali ini mendapat respon yang luar biasa dari Pemerintah. Kehidupan rakyat Aceh yang religius, menjunjung tinggi adat dan telah menempatkan ulama pada peran yang sangat terhormat dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara perlu dilestarikan dan dikembangkan. Undang-undang otonomi Aceh ini juga memberikan keleluasan kepada Pemerintah Daerah Istimewa Aceh untuk memberikan kesempatan bagi masyarakatnya dalam menjalankan syariat agama Islam. Bahkan denga kanoon, Pemerintah Aceh mampu mengesampingkan hukum nasional sepanjang yang menyangkut nilai-nilai keagamaan, seperti perzinahan, pembunuhan, dan lain sebagainya.

Undang-Undang Otonomi Khusus Daerah Istimewa Aceh

Undang-undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Propinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam disahkan dan diundangkan di Jakarta pada tanggal 9 Agustus 2001 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 114, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4134). Sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia menurut UUD 1945 mengakui dan menghormati satuan-satuan. Pemerintahan Daerah yang bersifat khusus atau istimewa yang diatur dalam Undang-undang. Seiring dengan munculnya era reformasi serta aspirasi rakyat Aceh, Pemerintah memberikan otonomi khusus. Sehubungan dengan itu ditetapkan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Propinsi Daerah Istimewa Aceh Sebagai Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam.

Kompilasi Hukum Islam

         Perwujudan hukum bagi umat Islam di Indonesia terkadang menimbulkan pemahaman yang berbeda. Akibatnya hukum yang dijatuhkan sering terjadi perdebatan di kalangan para ulama. Karena itu diperlukan upaya penyeragaman pemahaman dan kejelasan bagi kesatuan hukum Islam. Keinginan itulah kemudian memunculkan Kompilasi Hukum Islam ( KHI ) yang saat itu bisa dijadikan pegangan para hakim di lingkungan Peradilan agama [15]. Selama ini Peradilan Agama tidak mempunyai buku standar yangbisa dijadikan pegangan sebagaimana halnya KUHP. Pembentukan Kompilasi Hukum Islam atas Surat Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung dan Menteri Agama. Tim penyusun Kompilasi Hukum Islam yang dipimpin Bustanul Arifin ini bertugas melaksanakan usaha pembangunan hukum Islam melalui yurisprudensi dengan jalan Kompilasi Hukum[16]. Prioritas utama mengkaji kitab-kitab yang dipergunakan sebagai putusan-putusan hakim agar sesuai dengan perkembangan masyarakat Indonesia menuju Hukum Nasional.

Kompilasi Hukum Islam, menyangkut keberadanya memang masih banyak yang pro-kontra tentang kemampuan yuridisnya. Salah satunya adalah H. Moh. Koesnoe, yang menyataan, bahwa Kompilasi Hukum Islam, tetap berada di luar tatanan hukum positif Indonesia, dan itu merupakan pendapat sekelompok ulama dan pakar hukum Islam atau bisa dikatakan sebagai ijma’ kalangan tersebut[17]. Anggota Komisi Hukum Nasional Fadjrul Fakih menyatakan, bahwa KHI tidak bedanya dengan kitab fiqh yang masih digunakan sebagai books of authority dalam Peradilan Agama. Oleh karena itu, KHI di hadapan lembaga yudikatif khususnya Peradilan tidak dapat dijadikan rujukan[18]. Namun demikian banyak kalangan menyambut baik munculnya KHI tersebut, setidak-tidaknya dapat memberikan pedoman dalam hal hakim atau dalam penegakan hukum mengalami kesulitan.

Landasan hukum pembentukan KHI adalah Pasal 27 ayat (1) UU Nomor  Tahun 1970 yang berbunyi: ”Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat”. Sedang landasan fungsional, yaitu KHI adalah fikih Indonesia yang disusun dengan memperhatikan kondisi kebutuhan umat Islam Indonesia. Bukan mazhab baru tetapi mengarah kepada penyatuan berbagai pendapat mazhab dalam hukum Islam untuk menyatukan persepsi para hakim tentang hukum Islam untuk menuju kepastian hukum bagi umat Islam.

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2008 Tentang Surat Berharga Syariah Negara

Keberhasilan   pelaksanaan   program   pembangunan   nasional   dalam mewujudkan masyarakat yang adil, makmur dan sejahtera berdasarkan Pancasila dan  Undang-undang  Dasar   1945   perlu  disertai   dengan  antara  lain  upaya pengelolaan keuangan negara secara optimal. Hal tersebut dapat dicapai melalui peningkatan efisiensi dalam pengelolaan aset negara dan pengembangan sumber pembiayaan   anggara   negara   guna   meningkatkan   daya   dukung   Anggaran Pendapatan  dan  Belanja  Negara  dalam  menggerakan  pembangunan   sektor ekonomi secara berkesinambungan.

Pengembangan berbagai alternatif  instrumen   pembiayaan   anggaran negara, khususnya instrumen pembiayaan yang berdasarkan prinsip syariah guna memobilisasi dana publik secara luas perlu segera dilaksanakan. Instrumen keuangan yang akan diterbitkan harus sesuai dengan prinsip-prinsip syariah, memberikan kepastian hukum, transparan dan akuntabel. Upaya pengembangan intrumen pembiayaan berdasarkan prinsip syariah tersebut antara lain bertujuan untuk: (1) memperkuat dan meningkatkan peran sistem keuangan berbasis syariah di dalam negeri, (2) memperluas basis pembiayaan anggaran negara, (3)menciptakan benchmark instrumen keuangan berbasis syariah baik di pasar keuangan syariah domestik maupun internasional, (4) memperluas dan mendiversifikasi basis investor, (5) mengembangkan alternatif instrumen investasi, baik  bagi investor dalam negeri maupun luar negeri yang mencari instrumen keuangan berbasis syariah, dan (6) mendorong pertumbuhan pasar keuangan syariah di Indonesia.

Dalam konsep keuangan Islam, pada dasarnya mengacu pada prinsip moralitas dan keadilan. Oleh karena itu, sesuai dengan dasar operasionalnya yakni syariah Islam yang bersumber dari Al Qur’an dan Hadits serta Ijma, instrumen pembiayaan syariah harus selaras dan memenuhi prinsip syariah, yaitu antara lain transaksi yang dilakukan oleh para pihak harus bersifat adil, halal, thayyib dan maslahat. Selain itu, transaksi dalam keuangan Islam sesuai dengan syariah harus terbebas dariunsur larangan berikut: (1) Riba, yaitu unsur bunga atau return yang diperoleh dari penggunaan uang, untuk mendapatkan uang (money for money), (2) Maysir, yaitu unsur spekulasi judi dan sikap untung-untungan, (3) Gharar, yaitu unsur ketidakpastian yang antara lain terkait dengan penyerahan, kualitas, kuantitas dan sebagainya.

Karakteristik lain dari penerbitan instrumen keuangan syariah, yaitu memerlukan adanya transaksi pendukung (underlying transaction), yang tata cara dan mekanismenya bersifat khusus dan berbeda dengan transaksi keuangan pada umumnya. Oleh karena itu, mengingat instrumen keuangan berdasarkan prinsip syariah sangat berbeda dengan instrumen keuangan konvensional, untuk keperluan penerbitan instrumen pembiayaan syariah tersebut perlu adanya pengaturan secara khusus, baik yang menyangkut instrumen maupun perangkat yang diperlukan.

Salah satu bentuk instrumen keuangan  syariah yang telah banyak diterbitkan baik oleh korporasi maupun negara adalah surat berharga berdasarkan prinsip syariah atau secara internasional dikenal dengan istilah Sukuk. Instrumen keuangan syariah ini berbeda dengan surat berharga konvensional. Perbedaan yang prinsip antara lain surat berharga berdasarkan prinsip syariah menggunakan konsepImbalan bukan bunga sebagaimana dikenal dalam instrumen keuangan konvensional dan diperlukan sejumlah tertentu aset yang digunakan sebagai dasar untuk melakukan transaksi dengan menggunakan Akad berdasarkan prinsip syariah. Metode atau struktur pembiayaan berdasarkan prinsip syariah pada dasarnya mengikuti Akad yang digunakan dalam melakukan transaksi.

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah

Undang Undang Nomor 21 Tahun 2008 disahkan di Jakarta pada tanggal 16 Mei 2008 dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 94. Sebagaimana diamanatkan oleh Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tujuan pembangunan nasional adalah terciptanya masyarakat adil dan makmur, berdasarkan demokrasi ekonomi yang bertumpu pada mekanisme pasar yang berkeadilan. Guna mewujudkan tujuan tersebut, pelaksanaan pembangunan ekonomi nasional diarahkan pada perekonomian yang berpihak pada ekonomi bersaing di kancah perekonomian internasional.

 Untuk mencapai tujuan pembangunan nasional dan dapat berperan aktif dalam persaingan global yang sehat, diperlukan partisipasi dan kontribusi semua elemen masyarakat untuk menggali berbagai potensi yang ada di masyarakat guna mendukung  proses  akselerasi  ekonomi  dalam  upaya merealisasikan  tujuan pembangunan nasional. Salah satu bentuk penggalian potensi dan wujud kontribusi masyarakat dalam perekonomian nasional tersebut adalah pengembangan sistem ekonomi berdasarkan nilai Islam (Syariah) dengan mengangkat prinsip-prinsipnya ke dalam Sistem Hukum Nasional. Prinsip Syariah berlandaskan pada nilai-nilai keadilan, kemanfaatan, keseimbangan dan keuniversalan (rahmatan lil ‘alamiri).

Nilai-nilai tersebut diterapkan dalam pengaturan perbankan yang didasarkan pada Prinsip Syariah yang disebut Perbankan Syariah. Prinsip perbankan Syariah merupakan bagian dari ajaran Islam yang berkaitan dengan ekonomi. Salah satu prinsip dalam ekonomi Islam adalah larangan riba dalam berbagai bentuknya dan menggunakan sistem antara lain prinsip bagi hasil. dengan prinsip bagi hasil, Bank Syariah dapat menciptakan iklim investasi yang sehat dan adil karena semua pihak dapat saling berbagi baik keuntungan maupun potensi risiko yang timbul sehingga akan menciptakkan posisi yang berimbang antara  bank dan nasabahnya. Dalam jangka panjang, hal ini akan mendorong pemerataan ekonomi nasional karena hasil keuntungan tidak hanya dapat dinikmati oleh pemilik modal saja, tetapi juga oleh pengelola modal.

Perbankan syariah sebagai salah satu sistem perbankan nasional memerlukanbebagai sarana pendukung agar dapat memberikan kontribusi yang maksimum bagi pengembangan ekonomi nasional. Salah satu sarana pendukung vital adalah  adanya pengaturan yang memadai dan sesuai dengan karakteristiknya.Pengaturan  tersebut di antaranya dituangkan dalam Undang-undang Perbankan syari’ah. Pembentukan Undang-undang Perbankan Syariah menjadi kebutuhan dan keniscayaan, bagi   berkembangnya  lembaga  tersebut.   Pengaturan mengenai Perbankan Syariah dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 belum spesifik dan kurang mengakomodasi karakteristik operasional Perbankan Syariah, di mana di sisi lain pertumbuhan dan volume usaha Bank Syariah berkembang cukup pesat.

Sebagai Undang-undang yang khusus mengatur perbankan syariah, dalam Undang-undang ini diatur mengenai masalah kepatuhan syariah (syariah compliance) yang kewenangannya berada pada Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang direpresentasikan melalui Dewan Pengawas Syariah (DPS) yang harus dibentuk pada masing-masing Bank Syariah dan UUS. Untuk menindaklanjuti implementasi fatwa yang dikeluarkan MUI ke dalam Peraturan Bank Indonesia, di dalam internal Bank Indonesia dibentuk komite perbankan syariah, yang keanggotaannya terdiri atas perwakilan dari Bank Indonesia, Departemen Agama dan unsur masyarakat yang komposisinya berimbang.

Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 02 Tahun 2008 Tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah

Dalam rangka  untuk kelancaran pemeriksaan dalam penyelesaian sengketa ekonomi syari’ah sebagaimana dimaksud Pasal 49 huruf (i) beserta Penjelasan, Undang-undang No. 50 Tahun 2009 Jo. UU No 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama, Undang-undang Nomor 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syari’ah Negara, PasaJ 55 Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syari’ah, perlu dibuat pedoman bagi hakim mengenai hukum ekonomi menurut prinsip syari’ah.

Sikap akomodatif yang selama ini diberikan negara kepada umat Islam seharusnya memacu umat Islam untuk membuktikan bahwa hukum Islam tidaklah seperti yang dikhawatirkan banyak orang tentang kekejaman dan pengingkaran kepada HAM, tetapi hukum Islam adalah rahmatan lilalamin, menciptakan kedamaian dan kesejahteraan kepada umat manusia, tidak hanya bagi umat Islam sendiri tetapi juga untuk umat lainnya.

Seperti yang pernah dipraktikkan Nabi Muhammad sewaktu membentuk negara Madinah, yang terkenal dengan Piagam Madinah-nya[19]. Piagam Madinah telah terbukti dan diakui banyak pihak merupakan embrio lahirnya pengakuan hak-HAM. Oleh karena itu sesungguhnya tidak beralasan manakala menyangsikan bahwa prinsip-prinsip Islam akan merugikan perekonomian masyarakat.

Kesimpulan dan Saran

  1. Kesimpulan
  2. Pengaturan HAM di dalam UUDRI 1945 sudah mencerminkan adanya perkembangan yang signifikan dengan tuntutan rakyat, terutama setelah reformasi. Hal ini ditunjukan oleh adanya beberapa pasal yang mengatur HAM, khususnya setelah melalui amandemen yang dilakukan sejak tahun 1999 sampai dengan tahun 2000. Sebagai bukti perkembangan tersebut juga dapat dilihat dari berbagai ratifikasi terhadap berbagai instrumen HAM internasional, baik dalam bentuk undang-undang, maupun peraturan lain di bawah undang-undang.
  3. Dalam perspektif Hukum Islam, melalui Piagam Madinah telah meletakan prinsip-prinsip pengakuan dan perlindungan HAM di Indonesia yang pengaturanya tercermin di dalam UUDRI 1945. Nilai-nilai HAM dalam Islam sebagaimana dicantumkan dalam Piagam Madinah telah diimplementasikan dalam berbagai undang-undang organik sebagai pelaksanaan UUDRI l945, yang meliputi berbagai bidang, baik bidang ekonomi, politik, sosial, budaya, dan lain sebagainya.
  4. Saran
    1. Pengaturan HAM di Indonesia seharusnya segera menyesuaikan dengan Instrumen Hak Asasi Internasional, khususnya terkait dengan pengaturan pengakuan, pemenuhan, dan perlindungan HAM. Hal ini harus dilakukan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dengan cara menambah materi HAM di dalam pasal-pasal UUDRI 1945.
    2. Negara maupun pemerintah harus secara konsisten dan komitmen dalam memberikan jaminan perlindungan dan pengakuan, serta pemenuhan hak-hak asasi warga negaranya yang telah di tuangkan dalam berbagai produk peraturan perundang-undnagan.
    3. Pemerintah harus menyelenggarakan sosialisasi HAM bagi warga negaranya, melalu berbagai mekanisme yang ada, sehingga HAM tersebut benar-benar terwujud dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, dan tidak hanya sebatas tertuang di dalam berbagai produk perundang-undangan semata.

 [1]SriSoemantri M, Op. Cit, hal. 51.

[2]Miriam Budihardjo, Dasar-Dasar limit Poliiik, Gramedia, Jakarta, 1991, hal 101

[3]Abdullah Keiib, Beberapa Catalan Efektifitas Kompilasi Hukum Islam dalam Peradilan Agama dan Kompilasi Hukum Islam dalam Tata Hukum Islam Indonesia, UII Pres, Yogyakarta, hal. 150

[4]Anwar Haryono dan RamlyHutabarat, Prospek Peradilan Agama sebagai Peradilan Keluarga dalam Sistem Politik Indonesia dalam Amrullah Ahmad, Dimensi Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Nasional, Gema Insani Press, Jakarta, 1996, hal. 217

[5]Moh. Mahfud MD, Peluang Konstitusional Bagi Peradilan Agama, dalam Peradilan Agama dm KH!,ITTT Press, Yogyakarta, 1993, hal. 18

[6]Pada saat Undang-undang tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji itu dibahas di Dewan Perwakilan Rakyat, Penulis adalah Ketua Komisi VII yang membidangi masalah Sosial lan Agama, dan penulis adalah Ketua Pansus Rancangan Undang-undang tentang 3enyelenggaraan Ibadah Haji

[7]Ensikopedi Hukum Islam, Jakarta, PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997, hal. 458

[8]A. Nasn- YmnfProblematika Manasik Haji Bandung, Penerbit Pustaka, 1994, hal. 1

[9]Pada saat Undang-undang tentang Pengelolaan Zakat itu dibahas di Dewan Perwakilan Rakyat, Penulis adalah Ketua Komisi VII yang membidangi masalah Sosial dan Agama. Dan penulis adalah Ketua Pansus Rancangan Undang-undang tentang Pengelolaan Zakat

[10]Miftah Faridl, Pokok-Pokok Ajar an Islam, Pustaka Salman ITB, Bandung, 1982, hal. 98

[11]Pemda OKI Jakarta, Mengenal Hukum Zakat dan Infak/Sedekah, Basis DKI, Jakarta, 1999, hal. 21

[12]Yusuf Qardawi, Hukum Zakat, Get. Ke-5, Litera Antarnusa-Mizan, Bandung, 1999,

[13]Mohd. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, Hukum Acara Peradilan Agama dan Zakat menur”.tffukum Islam, Sinar Grafika, Jakarta, 2000, hal. 131

[14]Suparman Usman, Hukum Islam Asas-asas dan Pengantara Studi Hukum Islam ata hukum Indonesia, Gaya Media Pratama, Jakarta 1999, hal. 164

[15]Suparman Usman, Op. Cit., hal. 145

[16]Saekan dan Ermati Effendi, Sejarah Penyusunan Kompilasi Hukum Islam di indonesia ,Penerbit Arkola, Surabaya, 1997, hal. 25

[17]Moh. Koesnoe, Kedudukan Kompilasi Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Nasional, majalah Hukum Varia Peradilan, Tahun XI, No. 122, November 1995, hal. 157

[18]Muhammad FajrulFalakh, Peradilan Agama dan Perubahan Tata Hukum Indonesia dalam Peradilan Agama dan Kompilasi Hukum Islam dal.am Tata Hukum Indonesia, UII Press Yogyakarta, 1999, hal. 36.

[19]Untuk lebih jelas baca Muchsin, Piagam Madinah, BP Iblam, Jakarta, 2005